Connect with us
missing link review

Film

Missing Link Review: Bukti Menurunnya Minat Film Animasi Stop-Motion?

Missing Link menjadi film terburuk studio animasi Laika, sekaligus menjadi film dengan opening weekend terburuk peringkat ke 12.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Nama-nama seperti Walt Disney Studio Animation, Pixar dan Dreamworks memang sudah tidak asing lagi bagi para penggemar film animasi. Namun, tahukah anda dengan studio animasi asal Amerika bernama Laika? Berbeda dengan studio animasi yang disebutkan diatas, Laika membangun sebuah ciri khas serta identitas uniknya tersendiri. Laika adalah sebuah studio animasi yang berfokus pada tekhnik animasi stop-motion. Sejak pertama kali berdiri di tahun 2005, Laika sudah memiliki banyak portfolio film animasi stop-motion dengan kualitas yang begitu luar biasa. Berbagai judul animasi sukses buatan Laika antara lain adalah Coraline (2009), ParaNorman (2012), The Boxtrolls (2014) dan yang paling terakhir adalah Kubo and the Two Strings (2016). Film hasil studio animasi Laika bahkan sudah menjadi langganan sebagai nominasi film terbaik di piala Oscar. Tahun ini, Laika kembali memproduksi film animasi stop-motion terbarunya yang berjudul Missing Link.

Berbeda dengan film animasi Laika sebelumnya, Missing Link mengambil tone yang bisa dibilang lebih ringan dan fun. Missing Link bercerita tentang seorang petualang bernama Sir Lionel Frost yang harus mengantar seekor Bigfoot dari Amerika menuju Himalaya untuk mencari saudara jauhnya sang Yeti. Yang membuat cerita menjadi menarik tentunya adalah sosok sang bigfoot bernama Susan atau biasa dipanggil juga Mr. Link. Berbeda dengan ekspektasi manusia mengenai Bigfoot, Bigfoot ternyata merupakan makhluk dengan intelejensi tinggi yang tidak kalah dengan manusia. Susan dapat berbicara, berperilaku dan beraksi layaknya manusia. Perjalanan mereka juga tidak berjalan dengan mulus karena Lord Piggot-Dunceby seorang petualang yang menyangkal keberadaan Bigfoot berusaha mencegah misi Sir Lionel Frost dalam membuktikan keberadaan Bigfoot. Sambil diburu oleh pemburu bayaran Willard Strenk, petualangan Sir Lionel dan Susan menjadi perjalanan roller coaster yang cukup menarik untuk diikuti.

Selain berfokus pada kisah Susan, Missing Link juga mengambil banyak fokus pada Sir Lionel Frost. Dari opening scene di film ini penonton sudah dapat melihat dengan jelas kemampuan Sir Lionel Frost sebagai seorang petualang ahli. Dengan mudah Sir Lionel Frost menangani dan menjalin hubungan dengan makhluk legenda. Namun, ada satu masalah serta kekurangan dari Sir Lionel Frost yaitu kesulitannya dalam menjalin hubungan dengan manusia lain. Sir Lionel Frost digambarkan sebagai seorang egosentrik yang perfeksionis dan workaholic. Sebetulnya Sir Lionel menginginkan hubungan dengan orang lain dan ia sadar pada hal tersebut namun ia tidak bisa merubah dirinya sendiri. Hal ini sebetulnya bisa dibilang sebagai sebuah ironi yang cukup menyedihkan. Demi mendapatkan pengakuan dan masuk ke dalam sebuah komunitas petualang, Sir Lionel harus membuktikan keberadaan Bigfoot yang menjadi pemicu petualangan serunya dengan Susan.

missing link review

Image: Laika Studios / Annapurna Pictures

Tema yang diangkat pada film ini sebetulnya berbicara menganai ‘rumah.’ Rumah bukan dalam artian tempat fisik tetapi sebuah tempat dimana kita merasa nyaman, sesuai, dan dikelilingi oleh orang yang tepat. Kedua karakter utama, Sir Lionel dan Susan sama-sama berada di dalam dilemma tersebut yaitu berusaha mencari sebuah ‘rumah’ agar keluar dari kesendirian dan rasa kesepian. Sir Lionel berusaha menjadikan komunitas petualang sebagai rumahnya, sedangkan Susan berusaha menjadikan Himalaya sebagai rumah barunya dengan harapan dikelilingi oleh saudara jauhnya sang yeti. Sayangnya, keduanya sepertinya sama-sama mencari rumah di tempat yang salah. Berusaha mendapat pengakuan dari komunitas petualangan sepertinya menjadi cara yang salah untuk mendapatkan sebuah ‘rumah’ bagi Sir Lionel. Salah dalam artian bahwa sebuah ‘rumah’ seharusnya tidak perlu memiliki sebuah pembuktian dan melihat anggota komunitas petualang tersebut yang sebenarnya tidak memiliki kepedulian terhadap Sir Lionel. Sedangkan, diluar dari ekspektasi dari Susan, para Yeti di Himalaya ternyata bersikap ‘rasis’ kepadanya bahkan tidak menganggapnya sebagai saudara. Tema ‘rumah’ yang diangkat ini menjadi tema yang potensial karena cukup menarik, terasa dekat dan relatable.

Sayangnya, Missing Link sepertinya menjadi usaha Laika untuk bermain aman dalam memproduksi sebuah cerita yang laku untuk penonton. Jika dibandingkan dengan film dari studio animasi Laika sebelumnya bisa dibilang Missing Link merupakan film paling ringan, sederhana dan paling berwarna. Cerita yang diberikan pada film ini terasa begitu generik, umum dan terkadang terasa membosankan. Tidak ada target audience khusus dan jelas bagi film ini, sekilas dari segi visual Missing Link sepertinya ditujukan bagi anak-anak tetapi ada beberapa bagian humor yang sepertinya lebih cocok bagi orang dewasa.

Selain Sir Lionel dan Susan, tidak ada karakter lain yang menonjol sehingga membuat film ini terasa begitu datar dan monoton. Karakter pendukung seperti Adelina, Lord Piggot-Dubency dan Williard Stenk sama sekali tidak menonjol. Adelina hanya berperan sebagai mentor atau guru yang berusaha membuat Sir Lionel sadar dan berubah. Sedangkan Lord Piggot dan Williard hanya sebagai karakter antagonist umum yang sering ditemukan pada film lainnya. Penggunaan eksposisi dan dialog secara tidak smart yang terus berulang dilakukan oleh Adelina untuk merubah Sir Lionel juga membuang potensi storytelling yang seharusnya dapat menjadi menarik.

Jika melihat dari segi visual, studio animasi Laika tidak bisa diragukan lagi. Laika memang berhasil menyempurnakan teknik stop-motion sehingga terlihat begitu mulus dan indah. Visual yang dihasilkan terlihat begitu indah seperti olahan digital padahal mayoritas visual yang kita lihat merupakan puppet atau environment buatan yang disusun secara perlahan oleh manusia. Saking sempurnanya bahkan penonton sempat beberapa kali lupa bahwa Laika merupakan sebuah film stop-motion bukan 3D animation. Kesempurnaan ini juga harus dibayar mahal karena banyak penggemar film yang salah sangka dan mengira bahwa Missing Link merupakan animasi 3D murahan padahal merupakan sebuah film stop-motion dengan tekhnik yang sudah disempurnakan.

Missing Link juga dibintangi oleh aktor papan atas yang sudah tidak asing lagi seperti Hugh Jackman sebagai pengisi suara Sir Lionel, Zach Galifianakis pengisi suara Susan dan Zoe Saldana sebagai pengisi suara Adelina. Seharusnya dengan kombinasi bintang papan atas dengan studio animasi fenomenal Laika dapat menghasilkan sebuah produk akhir yang luar biasa. Missing Link menjadi film dengan penghasilan terburuk studio Laika sejauh ini, bahkan Missing Link menjadi film dengan pembukaan terburuk sepanjang masa di peringkat keduabelas. Terlalu berusaha bermain aman sepertinya menjadi kesalahan utama di film ini. Proyek Laika sebelumnya berani mengambil resiko dan sukses membangun sebuah cerita original yang terasa spesial karena berbeda dengan yang lainnya. Atau sebetulnya kita dapat melihat bahwa kegagalan Missing Link merupakan sebuah bukti dari berkurangnya minat penonton pada film animasi stop-motion? Bukan merupakan sebuah film yang buruk tetapi Missing Link menjadi film animasi yang biasa saja. Menarik melihat bagaimana langkah berikutnya dari Studio Laika setelah kegagalan dari film Missing Link.

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Look Back Review Look Back Review

Look Back Review: Nostalgia & Tragedi

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect