Gunung Raung mungkin tidak sementereng Semeru, Rinjani, atau bahkan Carstenz Pyramid alias Puncak Jaya di Papua. Namun gunung ini punya tempat tersendiri di hati para pecinta outdoor activity di Indonesia bahkan internasional.
Gunung Raung berjenis Stratovolcano atau gunung berapi kerucut, dan tercatat terakhir meletus pada tahun 2015 lalu. Gunung setinggi 3344 mdpl (meter diatas permukaan laut) ini tercatat sebagai gunung “tersulit” untuk didaki di pulau Jawa. Bagaimana tidak, jika kebanyakan gunung yang lain hanya memerlukan stamina yang prima untuk berjalan dan mendaki berjam-jam menuju puncaknya, namun kita juga memerlukan keterampilan mountaineering yakni kemampuan dan penguasaan peralatan panjat tebing yang mumpuni.
Secara geografis Gunung Raung tercatat masuk dalam wilayah 3 kota di Jawa Timur, yakni Banyuwangi, Bondowoso dan Jember. Akhir Agustus kemarin kami mempunyai kesempatan mendaki gunung tertinggi di Jawa Timur setelah Semeru dan Arjuno ini. Kami menggunakan jasa salah satu mountain guide via jalur Kalibaru, Banyuwangi. Sejak tahun 2018 lalu mendaki Gunung Raung wajib hukumnya menggunakan guide setelah insiden satu korban jiwa pendaki terjatuh dari tebing.
“Mendaki gunung adalah saat dimana kita berjuang melawan diri sendiri.
Bermacam pilihan ditawarkan, mulai dari jasa guide-nya saja, sewa porter untuk tim atau porter pribadi, dimana kita hanya tinggal membawa perlengkapan pribadi ringan di daypack saja. Umumnya perusahaan mountain-guiding semacam ini akan membuka open trip sampai quota terpenuhi, namun kami memilih paket private guiding.
Para pendaki akan bertemu dengan guide mereka di Stasiun Kereta Api Kalibaru dan kemudian naik ojek menuju ke basecamp. Pendaki yang datang sehari sebelum hari pendakian juga dapat bermalam di basecamp tersebut. Dari basecamp, para pendaki akan naik ojek lagi melewati pekebunan kopi dan kakao selama 30 menit menuju camp 1.
Perjalanan dimulai
Camp 1 dikenal dengan nama lain yaitu camp “Mbah Sunarya”. Rumah Mbah Sunarya merupakan sebuah gubuk kayu sederhana dan merupakan rumah terakhir di kawasan tersebut. Kami disuguhi “welcome drink” yakni kopi khas Raung diolah sendiri. Beliau juga menjual versi bubuk nya seharga Rp 20.000 dalam wadah plastik.
Pada pukul 9:30 kami memulai pendakian. Perjalanan dari camp 1 ke camp 4 memakan waktu setidaknya 5 jam. Selama perjalanan kami melihat perkebunan kopi dan kakao yang dikelola warga, hingga tengah perjalanan antara camp 3 ke camp 4 ada sebuah gerbang pembatas alami dari dua buah pohon untuk menandakan masuk kawasan hutan. Di wilayah ini kekayaan flora dan fauna masih sangat beragam. Kami menemukan buah Juwet (Syzygium cumini) hampir di sepanjang jalan camp 3 ke camp 4. Kami juga bisa mendengar suara burung-burung Endemik, kotoran luwak pemakan kopi di tengah jalan setapak, hingga primata-primata seperti Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus) yang badannya hitam pekat asyik bergelantungan di pepohonan.
Guide kami menjelaskan bahwa ada juga Siamang (Symphalangus Syndactylus) di daerah tersebut. Bahkan beberapa waktu lalu, rekan mereka melihat Macan Kumbang (Panthera Pardus Melas) berwarna hitam. Sebenarnya satwa-satwa ini juga saling menjaga jarak dengan manusia, oleh sebab itu tidak mudah juga menjumpai mereka.
Umumya para pendaki mendapat pilihan bermalam di camp 4 atau camp 7. Mereka yang sudah terlatih dan punya stamina yang prima akan membangun tenda di camp 7 dan bermalam di sana. Namun lebih banyak pendaki yang memilih bermalam di camp 4. Kedua camp ini dipilih karena tempatnya yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Ketika tiba di camp 4 kami merasa tenaga masih bugar, maka kami memutuskan langsung menuju camp 7 dan bermalam di sana. Porter tenda dan logistik pun berangkat ke camp 7 dan mendirikan tenda. Porter-porter ini adalah warga setempat yang setiap harinya membantu para mountain guide untuk membawa peralatan dan logistik. Mereka sudah sangat terbiasa naik turun gunung dengan waktu yang singkat dan membawa beban yang berat. Mereka membuat kami kagum.
Di tengah perjalanan kaki teman saya lecet hingga berdarah karena sepatu mendakinya masih baru dan belum menyesuaikan bentuk kakinya. Akhirnya kami memutuskan bermalam di camp 5. Beruntung guide kami membawa tenda seadanya, sebuah hammock dan tungku portable yang cukup untuk sekadar membuat minuman panas dan memasak makanan ringan.
Perjalanan sebelum summit attack
Besoknya pukul 7:30 pagi kami bergerak menuju camp 6 dan camp 7 dengan jarak tempuh lebih kurang 3,5 jam. Camp 7 dipilih sebagai camp transit terakhir sebelum summit attack (pendakian menuju puncak) karena memiliki lahan paling luas dan paling memadai untuk mendirikan tenda. Kami bertemu banyak pendaki lain di sini, baik yang berangkat hampir bersamaan atau selepas summit attack. Bagi yang ingin bermalam selepas summit attack akan kembali ke camp 7 untuk menghimpun tenaga atau sekedar menikmati pemandangan. Di sini juga tempat paling strategis untuk menikmati sunset yang indah. Namun tergantung cuaca dan kabut yang bisa berganti dengan sangat cepat.
Ada yang mengagetkan buat saya pribadi melihat tenda tenda berantakan, bahkan tenda logistik kami yang telah disiapkan oleh porter terbang ke semak-semak di tepi jurang. Ternyata malam sebelumnya terjadi badai angin di kawasan ini yang membuat semuanya berantakan. Namun menurut guide kami hal ini lumrah terjadi. Ada yang menuturkan nama “Raung” diilhami bunyi angin yang meraung-raung bak suara mobil balap di lintasan sirkuit. Tentu saja suhu saat itu sangat dingin.
Kami memutuskan bermalam di camp 7 dan normalnya summit attack dimulai jam 1-2 dini hari. Sekitar jam 8 malam, badan yang lelah ini membuat kami cepat terlelap meskipun suhu sangat dingin menusuk tulang. Alarm membangunkan kami pukul 00:30 tengah malam untuk memasak air, menyeduh segelas kopi dan membuat makanan ringan. Kami pun siap berangkat.
Masih ada dua camp lagi sebelum summit (puncak), yakni pos 8 dan 9. Dini hari itu guide kami menyarankan mulai memakai helm, headlamp dan memakai jacket dengan windstopper karena di kawasan summit angin bisa berhembus sangat kencang. Dan tepat sekitar 5 menit sebelum sunrise kami mencapai camp 9. Camp dan batas vegetasi terakhir sebelum puncak. Di camp ini kami bertemu dengan rombongan open trip lain sebanyak 7 orang.
Setelah memasang perlengkapan mountaineering seperti body harness, figure of 8 dan carabiner kami berjalan mendaki menuju puncak pertama; Puncak Bendera. Di puncak ini terdapat sebuah bendera merah putih yang mulai usang dengan tiang besinya. Di sini kami menikmati sunrise dengan hembusan angin yang cukup kencang hingga membuat mata iritasi dan mengeluarkan air mata.
Tujuan kami selanjutnya adalah puncak Tusuk Gigi dan puncak terakhir, Puncak Sejati. Gunung Raung sebenarnya memiliki 4 puncak. Satu puncak yang lain adalah Puncak 17 yang berlokasi di antara Puncak Bendera dan Puncak Tusuk Gigi. Namun guide kami mengatakan bahwa puncak 17 terlalu berbahaya untuk didaki karena terlalu curam dan anginnya sangat kencang sehingga dapat membahayakan keselamatan.
Dari Puncak Bendera kami melanjutkan ke jalan setapak Shirathal Mustakim (jalur maut) dengan jurang yang dalam di kanan-kirinya. Kunci untuk berjalan disini adalah fokus memperhatikan jalan berpasir dengan kerikil vulkanik yang bisa jadi membuat kita terpeleset. Selain itu kita juga harus menunduk ketika angin kencang menerpa. Di rute inilah skill dan kematangan emosi kita diuji. Tak jarang nyawa kita hanya bergantung pada peralatan mountaineering yang digunakan. Kita harus disiplin mematuhi arahan guide, kapan kita harus memasang carabiner di tali Kernmantle yang telah dipasang oleh guide pembuka jalan sebelumnya; kapan harus rapelling turun dan naik; bagaimana posisi badan kita saat melewati tebing yang curam. Termasuk bagaimana koordinasi kaki dan tangan saat memanjat tebing berbatu bak bouldering. Yang tak dapat kami lupakan, dari jauh nampak selimut awan yang sangat indah di bawah kami.
Setelah berjalan, mendaki dan memanjat bebatuan terjal selama 2,5 jam kami sampai di Puncak Tusuk Gigi. Di puncak ini banyak bebatuan vulkanik lancip berukuran raksasa yang menjulang ke segala sisi bak tusuk gigi. Sebenarnya antara Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati hampir berada pada ketinggian yang sama dan saling berdekatan. Sehingga para pendaki dapat memilih puncak mana duluan yang mau didaki.
Sepuluh menit kemudian akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak tertinggi Gunung Raung, yakni Puncak Sejati (3344 mdpl). Di puncak ini kita akan menjumpai kaldera kering seluas 750 x 2250 meter berbentuk elips dengan kedalaman 500 meter. Di tengahnya masih terdapat lubang besar menganga dengan kepulan asap yang menunjukkan bahwa gunung ini masih aktif. Kaldera ini merupakan yang kaldera kering terbesar kedua se-Indonesia setelah gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Puas rasanya setelah susah payah mendaki akhirnya tiba juga di puncak tertinggi Gunung Raung. Kami pun bersantai, berfoto dan menikmati makanan ringan sambil bersitirahat. Setelah puas kami masih harus berjuang turun kembali menuju camp 7 dan bermalam di sana.
Normalnya paket perjalanan ke Gunung Raung dari jalur Kalibaru, Banyuwangi, ditempuh selama 3 hari 2 malam. Namun bagi yang sudah terlatih dengan energi prima dapat menempuhnya dengan 2 hari 1 malam. Tak sedikit pula yang memilih menikmati pendakian selama 4 hari 3 malam. Hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah ketersediaan logistik terutama air, mengingat di jalur ini tidak terdapat sumber mata air. Perlengkapan mountaineering dan arahan guide akan sangat berguna terutama sepanjang camp 9 menuju Puncak Sejati. Juga perlengkapan yang mumpuni mulai dari jaket technical outdoor yang layak hingga sleeping bag dan tenda yang sanggup menahan terpaan angin yang meraung-raung.
Gunung membuat kita sadar bahwa jalan yang kita tempuh tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mendaki gunung itu tidak mudah, butuh mental dan fisik yang kuat untuk mencapai puncak. Semua perjuangan, usaha dan kerja keras tidak akan sia-sia setelah kita berhasil mencapai puncak, melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumi ciptaan tuhan.
Perjalanan ini memberikan kami banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Mendaki gunung adalah saat dimana kita berjuang melawan diri kita sendiri. Saat dimana kita memutuskan untuk menyerah di tengah jalan dalam kondisi tersulit, atau melanjutkan apa yang telah kita rencanakan jauh hari. Dan saat kita berhasil mengalahkan segala keluh kesah, ego, rasa ingin menyerah hingga tiba di puncak dan terpenting kembali lagi ke rumah dengan selamat, saat itulah kita merasa menang.