Setiap hari kita mengakses media sosial dan salah satu yang paling populer adalah Instagram. Kita menemukan banyak hal menarik di dalamnya. Tren fashion terbaru, perkembangan politik negara, hingga kampanye pemanasan global semua ada di lini masa. Kita tak hanya mengikuti teman atau keluarga tapi juga figur publik yang kontennya menarik. Konten itu bisa saja menghibur, informatif, edukatif, bahkan persuasif. Salah satu contohnya adalah konten parenting.
Ada banyak selebgram parenting baik di Indonesia maupun dunia. Sebagian memang sengaja menjadikan Instagram sebagai lahan uang. Sebagian lagi melakukan profesi tersebut karena rasa suka yang besar terhadap dunia digital dan terutama media sosial. Namun profesi ini tak sekadar memberikan popularitas saja, ada pendapatan yang sangat menjanjikan. Instagram sendiri mengatakan ada lebih dari dua juta pengiklan di seluruh dunia yang menggunakan platformnya.
Pada 2020 diperkirakan industri marketing influencer global akan menghabiskan biaya sebesar lima hingga sepuluh trilyun dolar. Tahun 2018 saja, marketing influencer di Instagram diperkirakan menghabiskan hingga 1,7 trilyun dolar. Instagram dipilih karena popularitasnya yang menempati posisi pertama dibanding platform lain. Terdapat lima tingkatan selebgram/influencer di Instagram yaitu nano, micro, mid-tier, macro, dan mega. Nano hanya berjumlah seribu hingga 10 ribu pengikut sementara mega dapat mencapai di atas satu juta pengikut.
Salah satu jenis konten yang banyak ditemukan di Instagram adalah konten parenting. Influencer parenting ini memiliki jumlah pengikut yang bervariasi mulai dari kategori nano hingga mega. Beberapa secara terbuka menyebut diri mereka sebagai kreator konten parenting. Mereka juga bekerja sama dengan brand besar maupun kecil. Salah satu hal yang mendorong kehadiran para selebgram parenting ini adalah adanya kebutuhan dari pengguna Instagram, terutama generasi milenial dan generasi setelahnya.
View this post on Instagram
Generasi milenial saat ini telah memasuki usia menikah dan memiliki anak. Para ayah maupun ibu muda ini berbeda dengan generasi orangtua mereka. Orangtua milenial tak lagi sekadar berpegang pada ilmu parenting yang diberikan turun temurun. Mereka acapkali lebih kritis sehingga tak mau sekadar mengikuti sesuatu yang berupa mitos maupun budaya tanpa memahami maknanya. Ada dorongan dalam diri mereka untuk menjadi orangtua yang lebih baik sehingga ilmu parenting diperlukan.
Sebenarnya ilmu parenting bisa didapatkan dari buku, media massa, maupun seminar. Namun keterbatasan waktu dan dana turut memengaruhi pilihan mereka dalam mencari informasi. Belum lagi rasa malas membaca yang banyak menjangkiti masyarakat Indonesia. Media sosial kemudian menjadi jalan keluarnya. Konten pada media sosial ditawarkan dalam konsep yang menarik baik dalam bentuk foto maupun video dengan jumlah teks yang terbatas sehingga lebih mudah dan lebih cepat dicerna.
Salah satu contohnya adalah akun milik Annisa Steviani. Ia fokus pada konten parenting sejak menikah dan memiliki anak. Sebelumnya, Annisa adalah seorang jurnalis yang banyak meliput konser musisi dalam maupun luar negeri. Perubahan fase dalam hidupnya mendorong ia mengubah konten media sosialnya. Keunikan konten Annisa adalah ia selalu menggambarkan kehidupan orangtua secara realistis. Annisa menunjukkan menjadi orangtua tidak harus sempurna atau idealis. Orangtua juga bisa lelah, bosan, dan membutuhkan jeda dari mengurus anak.
Tentu konten yang ditawarkan oleh Annisa berlawanan dengan prinsip umum parenting dalam budaya kita. Orangtua terutama ibu dituntut tak kenal lelah dan selalu mengutamakan keluarga di atas dirinya sendiri. Namun Annisa menunjukkan bahwa ibu hanyalah manusia biasa yang punya batasan. Ibu tak seharusnya dituntut berlebihan. Awalnya tentu konten yang ditawarkan Annisa terasa tidak umum bagi masyarakat. Namun dengan berjalannya waktu, banyak pula konten parenting serupa bermunculan di lini masa Instagram masyarakat Indonesia.
View this post on Instagram
Akun parenting lain yang patut ditengok adalah milik Lindsey Bonnice. Tiga dari empat anaknya ia dapatkan dari perjuangan mengajukan adopsi secara legal. Lindsey adalah seorang blogger yang menyukai fotografi dan berjualan produk-produk handmade. Ia menggunakan akun Instagram-nya sebagai salah satu cara mengampanyekan adopsi. Adopsi merupakan salah satu hal yang masih dianggap tabu bagi banyak pasangan suami istri. Memiliki anak dari rahim sendiri dianggap lebih baik dibanding membesarkan anak orang lain. namun Lindsey menunjukkan indahnya hidup sebagai orangtua dari anak-anak adopsi.
Selain masih memiliki stigma negatif, alasan lain dari sedikitnya orang yang memilih mengadopsi anak adalah sulitnya mengajukan legal. Adopsi juga dikenal memakan banyak biaya dan waktu yang tak sedikit. Lindsey menunjukkan semua kendala itu dapat diatasi dan berharga untuk dilakukan. Anak kandung maupun anak-anak adopsinya tumbuh dengan baik dan akrab layaknya saudara sedarah.
View this post on Instagram
Berikutnya adalah akun milik Natalie Weaver. Ia adalah seorang ibu sekaligus advokat pembela hak-hak anak difabel. Hal ini ia lakukan karena anak pertamanya seorang difabel. Perjuangan Natalie dimulai ketika sang anak yang memiliki disabilitas fisik dan mental menjadi objek bully di internet. Rupa anaknya yang berbeda mengundang cemoohan maupun hate speech dari banyak orang. Sebagian orang bahkan menuntutnya membunuh anaknya yang difabel. Natalie kemudian bangkit dan melawan.
Sebenarnya tak hanya Natalie saja yang memiliki anak difabel. Kini, banyak bermunculan akun-akun parenting yang menggambarkan perjuangan orangtua dengan anak difabel. Kehadiran mereka penting sebagai bentuk informasi maupun edukasi terhadap masyarakat, terutama pada kasus disabilitas maupun penyakit yang langka. Para orangtua difabel ini tak hanya meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kaum difabel yang minoritas tetapi juga merangkul orangtua lain agar tak patah semangat terhadap kondisi anak-anaknya.
View this post on Instagram
Terakhir adalah akun Illana Wiles. Illana adalah seorang yang berasal dari keluarga Yahudi. Tak banyak selebgram yang merepresentasikan kaum Yahudi di media sosial. Selain menunjukkan kehidupan keluarga Yahudi, Illana juga menunjukkan kehidupan anak-anak sekolah di Amerika yang mungkin jauh dari bayangan kita. Kita mungkin berpikir Amerika adalah negara maju, tapi kehidupan anak-anak di Amerika seperti putri Illana terlihat jauh lebih membumi dibanding banyak anak figur publik Indonesia.
Anak-anak Illana suka bermain di alam bebas, pergi ke museum maupun tempat kesenian dan sejarah lainnya secara berkala. Mereka juga mengerjakan tugas prakarya sekolah dari hasil belanja di toko khusus yang menjual barang bekas untuk bahan baku produk handmade. Kedua putri Illana itu pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau skateboard.
Masih banyak lagi akun parenting lain yang sangat layak untuk menjadi acuan dalam mendapatkan tips parenting. Grace Melia yang salah satu anaknya berkebutuhan khusus misalnya. Selain mengampanyekan kesadaran terhadap anak berkebutuhan khusus, Grace juga sering membagikan kegiatan bermain dengan anaknya yang lain. Kegiatan bermain yang dibagikan Grace menginspirasi banyak orangtua lain untuk menciptakan kegiatan belajar edukatif bagi anaknya masing-masing. Ada pula Ankatama Ruyatna yang sering membagikan video mengenai putranya yang pintar bicara. Hal itu menginspirasi banyak orangtua untuk lebih aktif mengajak anaknya ngobrol sehingga dapat sekritis putra Anka.
Sebenarnya ada kekhawatiran bahwa orangtua yang terlalu mengekspos kehidupan anak-anaknya membuat mereka tumbuh tanpa privasi. Kekhawatiran lain adalah anak-anak ini menjadi pusat perhatian di usia terlalu dini sehingga dapat memengaruhi tumbuh kembang mereka. Contohnya ketika putra dari Carissa Putri, seorang aktris, yang sempat stres karena tidak nyaman menjadi pusat perhatian orang asing. Ketika Instagram milik putranya dihack, Carissa memutuskan tak lagi membuatkan anaknya akun media sosial agar sang putra dapat tumbuh dengan lebih nyaman.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah minimnya akun parenting yang dikelola pria. Ini menunjukkan masyarakat kita masih beranggapan tanggung jawab mengasuh anak hanya perlu dibebankan pada perempuan. Padahal anak membutuhkan figur baik ayah maupun ibunya. Representasi selebgram parenting lelaki dibutuhkan untuk mematahkan stigam tersebut. Dengan adanya representasi, maka akan lebih banyak ayah yang terinspirasi untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak di dalam rumah tangga.