Connect with us
Hadirnya The Velvet Underground di Layar Putih Festival Film Cannes 2021
The Velvet Underground and Nico (Cornell University - Division of Rare Manuscript Collections)

Entertainment

Hadirnya The Velvet Underground di Layar Putih Festival Film Cannes 2021

Melalui dokumenter terbarunya, Todd Haynes menghadirkan kembali band legendaris The Velvet Underground dalam ingatan penggemar.

Festival Film Cannes tahun ini memang diisi oleh film-film unik dan kreatif, membuat publik yang melihat daftar film yang akan diputar menaikkan alisnya karena kagum. Hal ini seperti tidak disangka, sebab tahun sebelumnya festival ini terpaksa dibatalkan.

Sementara itu, dunia perfilman juga sedang mengalami masa-masa surut. Namun ternyata, kondisi sulit tersebut tidak menghentikan para sineas untuk mengeluarkan judul-judul yang menarik dan tentunya sangat wajib untuk masuk ke “watchlist”.

Salah satu film yang menarik perhatian muncul dari kategori dokumenter, yaitu “The Velvet Underground” karya Todd Haynes. Haynes memulai proyek dokumenter tentang band legendaris The Velvet Underground (selanjutnya akan disingkat menjadi VU) pada 2017, sedangkan wawancara-wawancara dilakukan pada 2018.

Film ini berisikan footage asli dari arsip Andy Warhol, seorang tokoh perintis gerakan seni visual yang kemudian dikenal sebagai pop art. Sejak pertama kali melihat penampilan VU, Warhol merasakan bahwa apa yang dilakukan VU dengan musiknya sama dengan yang ia lakukan dengan pekerjaannya. Sejak itu pula, Andy Warhol terintegrasi dengan perjalanan karir VU. Andy Warhol pada masanya mengabadikan momen-momen VU di studio seni-nya, “The Factory”.

Andy Warhol (Photo: Gamma-Rapho via Getty Images)

Gabungan antara footage Andy Warhol, rekaman-rekaman live lainnya yang belum pernah dipublikasikan, wawancara dengan para tokoh, dan dinamika kota New York pada tahun 60-an menjadikan film ini dokumenter yang agak berbeda dari dokumenter musik rock and roll lainnya.

Hingga saat ini, The Velvet Underground sudah sering disebutkan dalam dokumenter-dokumenter mengenai musik dan budaya urban Amerika, namun, dokumenter yang secara khusus membahas tentang VU bisa dihitung jari.

Dokumenter pertama merupakan film yang direkam oleh Andy Warhol dari “The Factory”, dan film ini pun tidak bisa dibilang memenuhi unsur-unsur film dokumenter.

Pada tahun 2006, kekosongan ini diisi oleh dokumenter yang berjudul “The Velvet Underground: Under Review” yang disutradarai oleh Tom Barbor-Might. Bisa dibilang, hanya inilah satu-satunya yang bisa disebut sebagai dokumenter VU. Meskipun begitu, dokumenter ini lebih berfokus kepada musik dan proses pembuatannya, dibanding kehidupan personal anggota-anggotanya, yang sampai sekarang masih terbilang misterius.

Tentang Todd Haynes dan Pembuatan “The Velvet Underground”

Tentang Todd Haynes dan Pembuatan “The Velvet Underground”

Sebelum menjadi sutradara “The Velvet Underground”, Todd Haynes sudah membidani lahirnya film-film fitur tentang bintang rock and roll, seperti kisah hidup Bob Dylan dalam “I’m Not There” dan kronikel tentang fiksi glam rock yang terinspirasi dari berbagai tokoh dalam “Velvet Goldmine”. Bagi Haynes, skena underground selalu menarik untuk ditelusuri. Wilayah ini selalu berisikan realita kehidupan manusia yang sering disisihkan oleh narasi-narasi yang lebih glamor.

Ketertarikannya terhadap skena underground ini menuntunnya kepada New York era 1960-an. Pada era inilah VU dan sejumlah band legendaris lainnya terbentuk. Seperti disebutkan sebelumnya, dokumenter “The Velvet Underground” ini tidak seperti dokumenter rock & roll kebanyakan yang selalu menghubungkan proses kreatif dalam bermusik dengan kehidupan personal para anggotanya, layaknya seperti itulah formula dalam membuat film dokumenter.

“The Velvet Underground” lebih banyak menampilkan ruang gerak band VU itu sendiri, yaitu kota New York, khususnya di “The Factory”, studio seni yang diciptakan oleh Andy Warhol.

Sebagai seorang tokoh eksentrik dari kelahiran budaya pop, pada 1960-an Warhol menjadikan “The Factory” sebagai tempat berkumpulnya para artis yang memiliki warna tersendiri. Interaksi antara Andy Warhol dan anggota VU yang masing-masing sifatnya bertolak belakang justru menghadirkan suatu harmoni. Gambaran inilah yang lebih ditekankan oleh Haynes.

The Velvet Underground dan Pengaruhnya Pada Dunia Musik

Ketika membicarakan tentang band-band yang paling berpengaruh pada perkembangan musik rock di masa depan, sudah pasti akan muncul nama The Beatles di urutan teratas. Hal ini tidak mengherankan. Popularitasnya telah menghadirkan musik rock sebagai sesuatu yang dapat diterima oleh kalangan umum, sehingga kegiatan mendengarkan musik rock menjadi suatu norma baru. Dampak luar biasa tersebut bukan hanya terjadi pada bidang musik, namun juga pada budaya tandingan dan cara berpikir generasi muda. Perubahan budaya oleh The Beatles ini bisa dikatakan telah merubah dunia.

Namun, jika kita berbicara dari segi perkembangan genre musik itu sendiri, VU bisa dikatakan sebagai ‘bapak’ dari selusin subgenre baru. Akar musik underground dan eksperimental, indie dan alternatif, punk, post-punk, dan art-punk semuanya kembali ke empat album VU: The Velvet Underground & Nico, White Light/White Heat, The Velvet Underground dan Loaded.

The Velvet Underground

The Velvet Underground (Photo: Michael Ochs Archives/Getty Images)

Dari segi popularitas mereka memang kalah jauh dari The Beatles dan band-band lain. Namun, hal ini bisa dimengerti mengingat lagu-lagu yang dihasilkan sangat tidak lazim muncul pada zamannya. Topik-topik seperti peredaran narkoba, heroin, sadomasokisme, hingga transeksualitas masih terbilang tabu pada saat itu.

Meskipun memilih topik yang oleh banyak orang dianggap tidak pantas, terkandung pesan protes yang kental pada lirik-lirik lagu VU. Contohnya dapat dilihat pada lagu “Heroin”. Lagu ini merupakan protes terhadap masyarakat yang cenderung menjauhi dan memberi stigma negatif kepada para pecandu narkoba. Tentang bagaimana ia memilih untuk menjadi pecandu, mengapa ia sampai tersisih dari masyarakat, tidaklah dipedulikan.

Dengan ini, lirik-lirik tersebut memiliki sentuhan humanis kepada masyarakat yang terpinggirkan. Gerakan protes ini di masa setelahnya menjadi besar (sekitar 80-90an) dan melahirkan lagu-lagu alternatif. Sayangnya, VU tidak bisa mencapai jumlah pendengar yang diharapkan pada zaman mereka.

Salah satu hal menarik dari VU adalah bagaimana musiknya yang tidak dapat didefinisikan dalam satu genre dan satu era waktu tertentu. Lagu-lagu VU tidak terdengar seperti ciri khas lagu 60-an, bahkan terdengar cukup familiar dengan lagu-lagu yang beredar saat ini.

Brian Eno dari Roxy Music dalam sebuah wawancara pernah menyebutkan bahwa memang sedikit yang membeli album VU, namun mereka yang membelinya kemudian membuat band. Seperti telah disebutkan, VU berpengaruh besar terhadap punk dan skena post-punk sekitar tahun 70-80an. Selain itu, VU juga mendapat tempat dalam musik grunge 90-an dan rock indie tahun 2000. Para artis yang terinspirasi oleh VU antara lain David Bowie, Joy Division, The Smiths, Nirvana, The Strokes, hingga Arctic Monkeys.

Mengapa Kemunculan Film Dokumenter Ini Sangat Esensial?

Salah satu alasan mengapa hampir tidak ada yang membuat dokumenter VU sebelum Todd Haynes adalah ketiadaan sumber-sumber yang dibutuhkan. Mengapa dikatakan tidak ada, meskipun VU terdokumentasi langsung oleh Andy Warhol? Sebab, sumber-sumber yang dibutuhkan untuk membuat dokumenter rock & roll yang “sesuai standar” antara lain adalah rekaman konser yang meriah, pidato emosional oleh sang vokalis, maupun momen-momen penting yang pernah diraih oleh sebuah band. VU tidak memiliki semua itu. Dokumentasi oleh Andy Warhol hanyalah rekaman-rekaman ketika band sedang melakukan rehearsal di “The Factory”.

Untungnya, Haynes mampu mencari pendekatan yang diluar “standar” dalam memproduksi dokumenter VU ini. Jika ia tidak melakukannya, hal-hal menarik dari VU tidak akan ter-highlight dan akan hilang sebagai hantu. VU merupakan band legendaris, namun keberadaannya seperti sulit dijangkau, sehingga hanya samar-samar saja dirasakan melalui musiknya.

Dengan legasi yang diberikan VU terhadap permusikan global, sudah selayaknya para fans baru ataupun pengikut musik alternatif untuk menonton film ini. Dilansir dari The Guardian, “The Velvet Underground” adalah dokumenter hebat tentang orang-orang yang serius dengan musik dan seni, serta menggambarkan apa artinya hidup sebagai seorang seniman.

Film ini bukan hanya penting sebagai momen mengabadikan VU, tetapi juga menularkan segi-segi positif dari perjalanan VU. Nilai-nilai tersebut adalah orisinalitas, kreatifitas, dan boldness. Sekiranya tiga hal itulah yang dapat dirangkum dari perjalanan VU.

Baca Juga: Di Balik Para Juara Festival Film Cannes 2021

Mengapa generasi sekarang perlu ketiga hal di atas? Dengan derasnya arus informasi yang dapat diakses melalui internet kapan saja dan di mana saja, segala tindakan kita seakan-akan merupakan konstruksi dari derasnya arus tersebut. Tren baru yang lebih cepat muncul sebelum kita menyadari apa yang sebenarnya dapat diambil dari tren sebelumnya membuat kebanyakan orang merasakan fear of missing out (FOMO).

Meskipun kita tetap harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, FOMO bisa menyebabkan lebih banyak efek negatif daripada positifnya, salah satunya adalah kehilangan orisinalitas dan kreatifitas. Hadirnya dokumenter “The Velvet Underground” bisa menjadi pengingat bahwa ketiga hal tersebut dibutuhkan jika kita ingin memberikan pengaruh kepada orang lain.

Seperti dikatakan oleh vokalis VU, Lou Reed, bahwa ia ingin menciptakan musik yang berkaitan erat dengan kehidupan, dimana para pendengarnya masih bisa terhubung dengan musik tersebut bahkan 10 tahun setelah mendengarnya. Dan hal itu terjadi. VU telah menjadi salah satu band paling bepengaruh yang mengubah wajah musik underground di dunia.

Bradley Cooper Bradley Cooper

10 Film Bradley Cooper Terbaik dan Terpopuler

Cultura Lists

Yorgos Lanthimos Yorgos Lanthimos

3 Film Yorgos Lanthimos Paling Aneh

Entertainment

Oppenheimer & Maestro Oppenheimer & Maestro

Oppenheimer & Maestro: Film Biopik yang Miliki Banyak Kesamaan

Entertainment

Turning Red Turning Red

Soul, Turning Red, Luca: Mana yang Patut Ditonton di Layar Lebar?

Entertainment

Connect