Pada tahun 2019, sebuah survei menjadi viral. Isinya menyatakan bahwa generasi milenial kesulitan untuk membeli rumah. Penyebabnya beragam. Mulai dari gaya hidup konsumtif hingga pendapatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Lonjakan harga properti terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau generasi muda kita. Ditambah lagi, makin banyak yang bekerja di industri kreatif. Tidak semua dari kita memiliki slip gaji. Akhirnya mengkredit rumah pun susah karena slip gaji adalah salah satu syaratnya.
Kenaikan UMR dinilai belum sebanding dengan inflasi. Anehnya, hal ini tidak menggoyahkan kebiasaan generasi milenial untuk membeli kopi kekinian. Sudah biasa kita melihat bagaimana brand-brand minuman hingga makanan baru menjadi viral lalu diserbu pembeli. Jamak pula kita melihat bagaimana generasi milenial menggantungkan angan tinggi untuk traveling tapi tidak memiliki dana darurat. Pinjaman online hingga kartu kredit yang menunggak bukan lagi jadi fenomena baru.
Uniknya, data menunjukkan bahwa setiap tahun ada kenaikan kelas menengah dan makmur di Indonesia. Pada tahun 2012 ada 74 juta penduduk yang masuk dalam kategori ini dan membelanjakan sekitar dua juta rupiah untuk pengeluaran rutin rumah tangga. Ini setara dengan 140 dolar. Tahun 2017, jumlah kelas menangah dan makmur meningkat menjadi 88 juta orang. Tahun ini 141 juta orang. Mereka tersebar di 54 kota dan kabupaten.
Meski memang kelas menengah dan makmur di Indonesia ini tak diisi satu generasi saja, kita bisa melihat bahwa angkanya tidak buruk. Ada cukup banyak orang yang bisa membeli makanan, membayar tagihan telpon, dan mengeluarkan uang transportasi hingga 2 juta rupiah per bulan. Berarti, ada sisa kan? Uang ini harusnya bisa disimpan untuk dana darurat, uang pensiun, dan biaya asuransi kesehatan. Atau bahkan membeli rumah. Sayangnya, konsumerisme dan posisi sebagai sandwich generation membuat hal ini sulit.
Hannes Schwandt dari Universitas Stanford menyebutkan bahwa orang yang lulus kuliah di masa resesi ekonomi merasakan dampak jangka panjang pada perjalanan karirnya. Misalnya generasi milenial yang lulus di tahun 2008 dan masuk dunia kerja di tahun yang sama. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan terpaksa memulai karirnya dengan gaji yang tidak memadai. Sayangnya orang yang lulus dan mulai bekerja di masa resesi ekonomi seringkali tidak mendapatkan keberuntungan seperti mereka yang mulai bekerja di masa keemasan. Ini berdampak hingga 15 tahun ke depan.
Bahkan kondisi ini dapat lebih buruk terhadap orang-orang yang drop out maupun yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Pendapatan yang rendah membuat mereka menunda atau malah tidak segera menikah dan lebih tidak mungkin lagi memiliki anak. Selain itu pendapatan rendah membuat mereka membangun gaya hidup yang buruk. Tidak bisa membeli makanan bergizi dan meluapkan rasa frustasi pada rokok dan alkohol membuat mereka berumur lebih singkat.
Inilah yang akan dihadapi generasi Z terutama bagi mereka yang lulus dan terjun ke dunia kerja tahun ini. Tak ada yang membayangkan bahwa dunia akan dilanda pandemi sehingga membuat pengangguran meningkat pesat. Pada kondisi normal saja, tidak ada kepastian seseorang yang baru lulus akan segera mendapatkan pekerjaan. Seseorang bisa membutuhkan beberapa bulan bahkan tahun sebelum benar-benar mendapatkan pekerjaan tetapnya.
Menurut Profesor Matthew Bidwell dari Sekolah Bisnis Wharton di Universitas Pennsylvania, walaupun ekonomi nantinya membaik, orang yang lulus di masa resesi tetap akan tertinggal dibanding generasi setelahnya. Mereka lebih mungkin bekerja di bidang yang bergaji kecil atau malah magang tanpa dibayar. Sehingga ketika mereka nantinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mereka harus belajar lagi dari 0. Selain itu mereka juga harus bekerja lebih keras untuk mengejar ketertinggalan dan hidup lebih mapan.
Studi mengenai kaitan antara masa masuk kerja dengan resesi ekonomi tak hanya dihadapi generasi milenial saja. Profesor Lisa Kahn dari Sekolah Manajemen Yale menunjukkan orang-orang yang lulus di masa resesi ekonomi tahun 1980-an mendapatkan penghasilan 8% lebih rendah dibanding orang yang lulus di masa ekonomi lebih baik. Bahkan 15 tahun setelah resesi, orang-orang ini tetap mendapatkan upah 2,5% lebih rendah. Studi tak jauh beda juga ditemukan oleh Profesor Till Marco von Wachter dari Universitas Columbia.
Namun ia juga menemukan hal baru lainnya. Orang yang lulus dari sekolah yang ternama dan lulus dari jurusan sains mampu mengejar ketertinggalan lebih baik walau masuk kerja di masa resesi. Setelah itu di level kedua adalah orang-orang yang lulus dari jurusan sosial sains. Namun orang-orang yang lulus dari sekolah yang kurang ternama dan mengambil jurusan humaniora kurang berhasil. Walau masa resesi telah berakhir, mereka tak mampu mengejar ketertinggalan tersebut.
Tak hanya kesulitan dalam memasuki dunia kerja, mereka yang masih muda paling berisiko kehilangan pekerjaan. Sebuah survei di Amerika menunjukkan 52% respoden yang berusia di bawah 45 tahun telah kehilangan pekerjaan mereka akibat pandemi. Sementara itu 8%-nya mengatakan mereka mungkin akan segera kehilangan pekerjaan. Bila dibandingkan dengan yang berusia di atas 45 tahun, sudah ada 26% yang kehilangan pekerjaan dan 5% yang akan segera menganggur.
Tentu saja masih ada peluang di masa suram seperti ini. Mungkin kesempatan untuk magang apalagi menjadi karyawan tetap memang hilang. Walaupun banyak perusahaan tidak lagi melakukan perekrutan, masih ada yang membuka lowongan untuk bekerja secara remote. Pandemi ini juga akan mendorong perussahaan-perusahaan untuk lebih banyak lagi memberlakukan work from home. Facebook, Twitter, Microsoft, hingga Apple mendorong pekerjanya untuk bekerja dari rumah. Bahkan mungkin benar-benar tak perlu ke kantor lagi meski pandemi berakhir.
Bagi beberapa orang, work from home dapat menjadi begitu membosankan atau malah bikin burnout. Namun sisi positifnya adalah biaya yang lebih murah baik bagi perusahaan maupun bagi individu. Biaya makan siang fancy dapat dipangkas. Ongkos transportasi dapat dihilangkan. Bahkan tak perlu berlarut-larut dalam meeting yang menjemukan karena semua bisa diselesaikan via chat atau email saja. Pekerjaan bisa menjadi lebih efektif dan efisien.