Berlatar belakang di masa lalu, dengan istana-istana yang indah, Emma. memberikan nada yang sangat khas ditemui dalam adaptasi-adaptasi novel Jane Austen (ataupun novel romansa Inggris serupa lainnya seperti Wuthering Heights dan Atonement).
Dengan tanda baca titik di dalam judulnya, Emma sengaja dibuat mengikuti keseluruhan ide dalam novel yang menempatkan protagonisnya di tengah periode Regensi di Inggris.
Berkisah tentang Emma Woodhouse, seorang perempuan muda, cantik, dari keluarga terpandang dan kaya di wilayahnya. Merasa dirinya belum membutuhkan pasangan, Emma justru mengerahkan tenaga dan waktunya untuk mencomblangi teman-temannya sendiri. Uniknya, Emma selalu mencomblangi teman-teman sekaligus perawatnya dengan pria-pria yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Namun hobinya untuk mencomblangi orang justru dianggap sombong dan naif oleh Mr. Knightley yang sejak awal selalu mengkritiknya. Dengan posisinya saat ini, Emma selalu merasa tidak perlu menikah, tetapi bagaimana jika ia menemukan lelaki idamannya?
Keluarga-keluarga terpandang, kisah benci jadi cinta, dan para pelayan istana yang bergerak seperti robot. Seluruh klise dalam novel Jane Austen sudah terpenuhi dalam adaptasi Emma. Meskipun hal-hal tersebut memang sangat tipikal dalam adaptasi novel Jane Austen, hal-hal tersebut juga yang membuat film ini begitu mudah untuk dinikmati oleh para penontonnya.
Tidak setiap tahun para pecinta film romansa dengan latar belakang Inggris masa lalu mendapatkan bahan yang menggugah hati, menghibur, sekaligus membuat luluh. Keberhasilan Emma. dalam menangkap hal-hal tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari sutradara, sinematografer, dan pencipta musiknya.
Emma. memang memiliki kisah yang lebih penuh canda dan kecerdikan, sehingga sangat pas ketika warna yang digunakan selalu cerah dan menunjukkan keanggunan sekaligus kepandaian sang protagonis.
Arahan Autumn de Wilde yang sering kali menggunakan lelucon praktikal juga sukses dalam menghibur penonton. Ditambah dengan musik dengan tempo cepat dan penuh kehidupan dan alunan orkestra yang membangun emosi pada akhir film. Emma. dengan sempurna menghidupkan aura romansa bangsawan Inggris.
Belum lagi membicarakan desain kostum dan properti yang selalu menjadi hal penting dalam period film. Seluruh rancangan bangunan dan kostum-kostum yang digunakan memang sangat biasa sebagaimana sering ditemukan dalam film dengan latar belakang waktu yang sama.
Namun adegan-adegan yang memperlihatkan bagaimana di balik itu semua, para karakter hanyalah manusia biasa yang memiliki saat-saat tidak anggun. Perpaduan antara rancangan yang indah dengan arahan yang lebih manusiawi justru menjadi hal yang sangat menonjol dalam eksekusinya.
Anya Taylor-Joy dan Johnny Flynn juga sangat menguasai narasi dengan percikan di antara keduanya yang dapat membuat jantung penonton berdegup penuh harap.
Karakter Emma memang tidak digambarkan sebagai perempuan muda yang sempurna sebagaimana penampilan luarnya. Ia memiliki banyak kekurangan di dalam dirinya yang bahkan dirinya sendiri tidak ingin akui. Namun Mr. Knightley melihat hal tersebut sejak awal dan menyeimbangi Emma melalui komentar pedasnya.
Dengan mata bulatnya yang menyita perhatian, Anya Taylor-Joy merupakan pilihan yang tepat untuk memerankan Emma. Sebagaimana Johnny Flynn dengan suara berat dan muka tegasnya merupakan pilihan yang tepat untuk memerankan Mr. Knightley. Memenuhi premis benci jadi cinta yang selalu dilahap habis oleh para pecinta kisah romansa.
Bagi para pecinta film romansa sejenis Pride & Prejudice (2005) namun dengan arahan yang lebih hidup dan menyenangkan, Emma. adalah film yang tepat untuk disaksikan. Penyajiannya yang menyegarkan sekaligus dapat membuat penonton bernostalgia dengan kisah romansa klasik patut untuk tidak dilewatkan begitu saja.