Setelah cukup lama dinantikan, ‘Black Adam’ rilis pada tahun 2022 sebagai salah satu film dalam semesta DC, khususnya spin-off dari ‘Shazam!’ (2019). Film berdurasi 125 menit ini disutradarai oleh Jaume Collet-Serra dan diproduksi oleh New Line Cinema, DC Films, Seven Bucks Productions, dan FlynnPictureCo.
Dwayne Johnson memerankan Teth-Adam alias Black Adam. Film ini juga dibintangi oleh Aldis Hodge sebagai Carter Hall alias Hawkman, Pierce Brosnan sebagai Kent Nelson alias Doctor Fate, Marwan Kenzari, Noah Centono, dan beberapa bintang Hollywood lainnya.
Dwayne berhasil membangun hype yang tinggi dalam berbagai kesempatan. Ambisi yang dibawanya sejak awal produksi terbukti mampu memertahankan produksi film ini dari berbagai kendala sejak pengumuman awalnya di tahun 2014. Akan tetapi, ‘Black Adam’ tidak lebih dari film yang mengutamakan visual dan perkelahian yang ramai.
Cerita Kurang Padat dan Bingung dengan Konsep Anti-Hero
Seperti halnya Billy Batson dalam ‘Shazam!’ (2019), seorang anak budak di kota Khandaq pada masa dahulu juga terpilih sebagai jawara penyihir Shazam dan menyelamatkan kota dari raja tiran yang ingin memperoleh kekuatan Sabbac. Akan tetapi, tragedi menimpa keluarganya sehingga kekuatan tersebut diturunkan kepada ayahnya sebagai Teth-Adam.
Pada masa kini, Teth-Adam kembali bangkit karena upaya sekelompok geng militer yang ingin mendapatkan kekuatan Sabbac. Justice Society justru menganggap Teth Adam sebagai ancaman, sementara Sabbac kembali bangkit dan menghancurkan kota. Teth-Adam berhasil mengalahkannya dan mengadaptasi nama Black Adam sebagai pelindung Kota Khandaq.
Transisi sifat baik dan kejam dari Black Adam juga tidak terlihat natural karena plot cerita yang seolah kebingungan untuk menegaskan konsep anti-hero itu sendiri. Karakter-karakter yang berperan vital dalam kebangkitan Black Adam tidak mendapatkan porsi yang banyak dalam cerita. Di sisi lain, para anggota Justice Society of America justru lebih banyak mendapatkan tempat ketika hadirnya seperti pahlawan kesiangan.
Penyusunan cerita mungkin akan terasa lebih padat jika JSA sekaligus berperan dalam kebangkitan Black Adam tanpa mengurangi dilema yang dialaminya. Cerita film ini juga tidak berfokus untuk mengalahkan villain, tetapi lebih memerhatikan isu-isu sang tokoh utama.
Karakter-karakter yang Ramai dengan Dirinya Sendiri
Melalui aktingnya, Dwayne memang berulang kali menegaskan posisi Black Adam sebagai anti-hero. Sesuai dengan karakternya dalam semesta komik, ia tidak ragu mengutamakan kepentingan Kota Khandaq di atas segalanya. Karakter Black Adam yang dibawakannya juga lebih hemat bicara daripada versi komik yang lebih ekspresif.
Akan tetapi, penulisan dialognya terasa klise karena terus mengungkit masa lalunya sebagai budak, seolah hanya mencari pembenaran moral atas sikapnya di antara baik dan jahat. Alih-alih meyakinkan penonton, motif Black Adam justru terombang-ambing sepanjang cerita seolah tidak yakin dengan jati dirinya sendiri.
Di sisi lain, kehadiran empat punggawa JSA hanya berkesan untuk meramaikan pertempuran sejak baru ditambah ke dalam cerita belakangan. Hawkman sudah lama bekerja sama dengan Doctor Fate, tetapi chemistry mereka baru terlihat ketika Doctor Fate hendak mengorbankan dirinya. Atom Smasher dan Cyclone hanya tampil untuk unjuk kekuatan dan melakukan kesalahan layaknya anak magang. Sabbac juga tidak terasa sebagai villain yang mengancam selain dengan penampilannya yang menyeramkan.
Sutradara seolah memahami bahwa Doctor Fate memiliki potensi tersendiri jika Black Adam dirasa kurang maksimal. Doctor Fate yang tidak kalah ikonik dari sejarah komik superhero setidaknya mampu menyeimbangi kualitas “Doctor Strange” dari MCU. Hal itu terbukti dengan hadirnya Brosnan yang mencuri perhatian dengan visual sihir yang memukau.
Pose populer Doctor Fate dari game ‘Injustice 2’ turut dihadirkan dalam salah satu adegannya untuk menambah hype penggemar DC. Tidak sedikit yang menantikan kisah Doctor Strange dalam produksi DC Studios mendatang.
Visual yang Memanjakan Mata sebagai Pijakan Baru DC
Editing dengan CGI yang memanjakan mata menjadi salah satu alasan film ini layak ditonton. Design kostum karakter dalam ‘Black Adam’ merepresentasikan karakter dengan detail. Color tone konsisten dengan nuansa gurun pasir sejak Khandaq berada di timur tengah. Teknik slow motion ala DC masih digunakan dalam beberapa adegan pertarungan, tetapi hanya berfokus pada pengambilan gambar yang spesial.
Visual film ini secara keseluruhan tampil dengan maksimal dengan sound effect yang gurih di telinga. Scoring juga terdengar cukup intens layaknya film superhero. Film ini memang terkesan menahan diri karena pada awalnya dirancang untuk rating R sehingga banyak adegan harus dipotong untuk mendapatkan rating PG-13.
Selain didukung dengan visual dan sinematografi DC yang semakin membaik, ‘Black Adam’ juga mempertegas terhubungnya semesta DC. Kehadiran Amanda Waller (Viola Davis) dan kejutan Henry Cavill sebagai Superman di mid-credit scene memberikan petunjuk yang patut dinantikan.
Film ini seharusnya mampu menawarkan kualitas cerita dan pendalaman karakter dengan lebih maksimal. Meskipun demikian, ‘Black Adam’ sudah menjadi pijakan yang baik untuk eksplorasi DCU di masa depan.