Connect with us
The Curse of La lLorona Review

Film

The Curse of La lLorona Review: Bukti Penurunan Kualitas Film Horror Conjuring Universe

Film ini kembali menjadi sebuah kekecewaan karena terlalu bergantung dengan jumpscare yang terasa murahan.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Ada beberapa film Conjuring Universe yang keluar tahun ini, salah satunya adalah The Curse of La Llorona yang mengangkat sebuah legenda mengerikan dari Mexico. Ada kekhawatiran jika melihat kualitas film di Conjuring Universe beberapa tahun kebelakang. Bahkan hampir semua film di Conjuring Universe yang tidak disutradarai oleh James Wan kecuali Annabelle: Creation (David F. Sandberg) menjadi sebuah kegagalan yang mengecewakan para penggemar film horror.

Sebagai tambahan terbaru dari Conjuring Universe, The Curse of La Llorona sebetulnya didasari pada sebuah legenda menarik tetapi berhasilkah La Llorona menjawab potensi tersebut?

Dari sebuah flashback di adegan pembuka penonton belajar bahwa ada sebuah tragedi mengerikan yang memulai legenda dari sosok La Llorona. Penonton lalu dibawa ke tahun 1973 yang menjadi setting waktu utama sepanjang film ini.

Penonton dikenalkan pada keluarga Garcia yang dipimpin oleh Anna Garcia (Linda Cardellini) sebagai seorang single mom. Dari perkenalan keluarga Garcia penonton segera menyadari korelasi antara Anna dan La Llorona sebagai seorang ibu yang nanti menjadi penting bagi jalan cerita. Tidak menunggu lama, penonton langsung dibawa ke misteri pertama dalam film yaitu ketika Anna yang bekerja sebagai pekerja sosial anti kekerasan anak menghampiri keluarga Patricia.

Sesampainya di rumah Patricia, Anna menemukan bahwa kedua anak Patricia, Carlos dan Thomas dikunci dalam sebuah lemari. Adegan ini menjadi setup kuat yang menjelaskan bahaya yang akan datang pada babak kedua di film ini.

Rasa penasaran penonton juga terpacu karena klaim Patricia yang mengatakan bahwa ia berusaha melindungi anaknya dengan mengurung mereka di lemari. Berusaha menyelamatkan Carlos dan Thomas, Anna lalu melaporkan Patricia kepada polisi lalu membawa kedua anak untuk tinggal d tempat perlindungan anak. Sayangnya usaha penyelamatan Anna ini harus dibayar mahal dengan kematian kedua anak tersebut dan berpindahnya kutukan La Llorona ke keluarganya.

Sebetulnya The Curse of La Llorona sudah menciptakan sebuah misteri yang sangat menarik pada awal film, sayangnya semuanya dibuang begitu saja melalui eksposisi deskriptif mendetail dalam sebuah dialog salah satu adegan. Penggunan eksposisi sebagai cara untuk menjelaskan sebuah misteri sebetulnya telah menjadi kesalahan umum dalam film horror yang seharusnya bisa dihindari.

Mikki Daughtry dan Tobias Iaconis penulis dari film ini seharusnya lebih berani menunjukan cerita lewat aksi yang bermain dengan rasa penasaran penonton bukan menghilangkan elemen misteri dengan eksposisi yang terasa begitu ‘gampang’. Hilangnya elemen misteri menjadi fatal karena babak kedua hanya berfungsi sebagai ajang untuk menakut-nakuti penonton tanpa elemen cerita kuat yang menyeimbangi.

The Curse of La Llorona seharusnya menjadi kesempatan emas untuk sutradara Michael Chaves menunjukan kemampuan penyutradaraannya, apalagi mengingat film ini sekaligus menjadi debut penyutradaraannya. Sayangnya Michael Chaves menyia-nyiakan kesempatan ini karena menggunakan cara yang ‘murahan’ untuk menakut-nakuti penonton.

Babak kedua dipenuhi dengan jumpscare berulang yang mudah ditebak serta diantisipasi. Chaves juga ‘lupa’ dengan elemen cerita dan hanya berfokus melakukan eksperimen untuk menciptakan reaksi kejutan yang akan dirasakan oleh penonton. Alhasil film ini jauh dari menakuti penonton dan maksimal hanya memberikan efek kejutan bersifat sementara yang tidak berdampak apa-apa bagi penonton.

Poin lain yang dapat dikritisi dari film ini adalah wujud dari sosok La Llorona itu sendiri. Kemunculan sosok La Llorona di film ini seharusnya memberikan ketakutan bukan sebuah pertanyaan mengenai kemampuan visual effects di film ini.

Beberapa adegan dimana La Llorona muncul terlihat palsu bahkan terkadang sosok La Llorona terlihat menggelikan bukan mengerikan. Hal ini sebetulnya patut dipahami apalagi jika mengingat sisi bisnis dari produksi film horror yang menggunakan budget seminim mungkin untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin. Seharusnya La Llorona lebih bergantung pada practical effect daripada pencampuran keduanya yang gagal menipu mata dan logika penonton.

Penyusunan plot yang dilupakan pada babak kedua berdampak fatal bagi babak ketiga serta ending dari cerita ini. Latar belakang karakter single mom yang awalnya terasa penting juga hanya digunakan untuk menambah drama dan kesedihan latar belakang protagonist. Bahkan cerita sempat terasa membingungkan terutama ketika Patricia kembali muncul di rumah Garcia. Kemunculan Patricia terasa canggung dan tidak mengejutkan apalagi masuk kedalam kategori sebuah twist.

Penonton kembali menjadi bingung terhadap asal usul dari La Llorona, apakah sebetulnya dihantuinya keluarga Garcia oleh La Llorona merupakan sebuah kebetulan? Atau Patricia merupakan dalang dibalik semua ini? Sayangnya pertanyaan ini hingga akhir film tidak terjawab sehingga terasa ‘menggantung’.

Berkat perjalanan babak kedua yang terasa monoton, penonton juga enggan mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sebetulnya terjadi di film ini. Kemunculan Patricia pada babak ketiga tersebut juga dilupakan karena tidak dibahas lagi pada akhir film. Kekacauan pada babak ketiga ini kembali menjadi bukti elemen cerita yang lemah dan harusnya tidak dilupakan dari film horror.

Jika ada beberapa poin yang dapat diberi apresiasi tidak lain adalah performa akting Linda Cardellini. Cardellini sebagai pemeran utama mampu membangun simpati serta menyampaikan berbagai macam emosi kepada penonton.

Penonton dapat merasakan rasa sayangnya yang tulus kepada kedua anaknya sehingga membangun sedikit tensi di film ini. Kedua aktor anak utama di film ini juga memberikan peforma akting yang cukup baik sehingga tidak ada adegan yang terasa palsu atau canggung.

Sayangnya casting aktor Raymond Cruz untuk memainkan karakter Rafael Olvera terasa tidak pas dan setiap adegan dimana ia tampil terasa begitu ‘cheesy’.

Dengan kemampuan akting Linda Cardellini dan didukung oleh cerita yang dibuat lebih kuat seharusnya The Curse of La Llorona menjadi sebuah film horror yang tidak mudah dilupakan atau terasa murahan. Michael Chaves sepertinya masih memiliki perjalanan panjang untuk membuktikan dirinya sebagai seorang sutradara berbakat.

The Curse of La Llorona kembali menjadi salah satu bukti penurunan kualitas film horror yang ada di Conjuring Universe. Sepertinya para pembuat film harus lebih bersabar dalam membuat film dan tidak mengejar kuantitas tetapi kualitas. Hal ini menjadi penting agar tidak membuat film horror kembali dicap sebagai sebuah hal murahan yang tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah seni.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect