Connect with us
A24

Film

Aftersun: Membingkai Ingatan Masa Lalu dengan Cara yang Cukup Melankolis

Di masa dewasa ada ekspektasi yang terus mengikis, yang harus disadari seorang ayah juga manusia biasa.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Saat kecil dulu, seorang anak pasti pernah merasakan bagaimana sempurnanya seorang ayah. Ia sosok yang kuat, dapat diandalkan, dan serba bisa. Namun, Setelah melihat dunia yang lebih luas, ekspektasi seorang anak akan semakin besar. Seiring berjalannya waktu sosok ayah ideal sedikit demi sedikit akan mulai terkikis, ada banyak hal yang tidak bisa ayah lakukan, tetapi pada faktanya, seorang ayah juga manusia biasa.

“Aftersun” (2022) membawa melodi cerita seperti itu, dengan cara yang cukup sentimentil sutradara Charlotte Wells membuat film ini masuk ke dasar perasaan yang paling dalam.

Begitu banyak emosi dan kesedihan yang dihadirkan, namun kemudian kembali menghangat dengan bantuan perasaan seorang anak yang penuh keragu-raguan ingin menyampaikan pesan pada seorang ayah, bahwa ia mencintainya dalam setiap keadaan.

Rekonstruksi Kenangan dengan Menyelami Perasaan Seorang Ayah di Masa Lalu

“Aftersun” memulai ceritanya dengan bergerak secara acak-acakan memperlihatkan kenangan pada tahun 90-an saat Sophie Paterson (Frankie Corio) masih berusia 11 tahun. Ia pergi berlibur dengan ayahnya, Calum Paterson (Paul Mescal) ke Turki.

Tidak ada yang istimewa dari liburan singkat pasangan ayah-anak tersebut, kecuali saat kamera mulai menyorot bagaimana Sophie dewasa (Celia Rowlson Hall) masuk menerobos lintasan waktu dua puluh tahun setelahnya dan tengah melihat sang ayah menari tak terkendali.

Pada saat itu, penonton seolah dibuat tersadar bahwa liburan Sophie dan Calum bisa jadi hanya serangkaian ingatan nyata ditambah imajinasi yang dibuat Sophie dewasa untuk menyelami bagaimana perasaan sang ayah di masa lalu, saat ia memiliki Sophie di usianya yang masih relatif muda, 30 tahun.

Bagaimana perlakuan Sophie pada Calum sedikit terasa janggal dilakukan bocah berumur 11 tahun, ada beberapa adegan yang menunjukkan bahwa Sophie selalu ingin memperhatikan hal-hal kecil yang berhubungan dengan ayahnya, seolah ia lebih dewasa. Seperti melipat baju yang berserakan di lantai kamar, atau menutupi kaki ayahnyanya yang tersingkap selimut pada saat tidur.

Namun, seiring berjalannya waktu, ada kesadaran yang bisa ditangkap. Segala perlakuan Sophie pada ayahnya bisa jadi adalah cara Sophie dewasa yang ingin merekonstruksi kejadian di masa lalu. Kalimat “Apa yang ingin ayah lakukan di umur ayah yang ke-11 tahun?” yang disematkan berulang-ulang, menjadi pertanyaan yang ingin dijawab sendiri oleh Sophie untuk memperbaiki masa-masa indahnya bersama sang ayah di masa lalu.

Film yang Cantik Sekaligus Menawarkan Atmosfer Kesedihan

Banyak keceriaan liburan yang coba ditawarkan, seperti berenang, menenangkan diri dengan berjemur, bertemu teman-teman baru, saling melumuri diri dengan lumpur, atau berbelanja oleh-oleh berupa karpet khas Turki.

Namun, Keceriaan-keceriaan tersebut ditembus dengan tatapan sedih Sophie pada ayahnya. Perasaan emosional yang coba diperlihatkan dalam “Aftersun” ini bukan hanya sekedar rasa sedih yang dangkal. Tetapi lebih dalam dengan menujukkan perasaan simpati seorang anak yang seperti melihat kehancuran ayahnya sendiri.

Adegan paling melankolisnya tidak memperlihatkan air mata yang  bercucuran, tetapi dikemas dalam adegan seperti saat Sophie mengajak ayahnya berkaraoke bersama, namun tidak digubris. Calum menatap sedih pada anaknya yang tidak pandai bernyanyi dan menawarkannya untuk mengikuti les setelah ini, tetapi Sophie menolak karena ayahnya tidak memiliki cukup uang.

Beberapa percakapan juga dibuat penuh teka-teki, misalnya ketika Calum menyampaikan harapan besarnya pada Sophie, dan Sophie yang diperlihatkan selalu menatap penuh kesedihan ke arah ayahnya.

Film ini seperti perjalanan panjang yang penuh penyesalan, baik untuk Calum, Sophie, atau orang-orang yang menyaksikannya. Dan mereka berharap mampu mengulanginya agar bisa memperbaiki kehidupan yang pernah dijalani di masa lalu.

Charlotte Wells berhasil membuat film ini meraih French Touch Prize of The Jury di Cannes Film Festival. Penampilan perdana Frankie Corio sebagai seorang aktris juga sangat layak diberi pujian, di usianya yang masih sangat muda, ia sudah mampu menampilkan tatapan tajam yang kaya makna.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect