Work from Home dan di rumah saja bisa sampai di titik yang mungkin membosankan. Namun agar apa yang dihadapi bersama hari ini bisa segera mereda, Kita perlu untuk sebisa mungkin berada di rumah. Kita bisa mengakali aktivitas selama di rumah, salah satunya adalah menonton kembali film-film terdahulu.
Pada 2007 yang lalu, Riri Riza menyutradarai film 3 Hari untuk Selamanya. Film ini dibintangi oleh Nicholas Saputra (sebagai Yusuf) dan Adinia Wirasti (sebagai Ambar). Film berdurasi 113 menit ini telah ditampilkan di Premiere Hong Kong International Film Festival dan Singapore International Film Festival.
Film yang mengangkat tema post-adolescent ini dikemas dalam bentuk perjalanan. Dikisahkan, Yusuf diamanahkan piring dan gelas keramik antik yang menjadi bagian dari ritual pernikahan keluarga mereka oleh ibu Ambar. Karena telah dianggap sakral, Yusuf dipercaya untuk mengantarkan piring dan gelas itu ke Jogja melalui jalur darat. Kakak Ambar lah yang sebentar lagi akan menggelar resepsi pernikahannya di Jogja.
Di hari dimana seluruh keluarga Ambar telah berangkat ke bandara guna terbang ke Jogja, Ambar malah ketiduran dan akhirnya ketinggalan rombongan. Iapun memilih untuk berangkat bersama Yusuf. Jadilah, Yusuf dan Ambar melakukan perjalanan Jakarta ke Jogja selama tiga hari, waktu yang terbilang cukup lama dari waktu tempuh normal.
Sarat akan Dialog Ringan dan Satir
Yusuf adalah figur yang cerdas dan sopan, serta punya keinginan tinggi untuk mencoba hal-hal yang menurutnya menarik. Sedang Ambar adalah figur emosional, berjiwa bebas namun seringkali pesimis dengan hidupnya.
Sesuai dengan tema Post-Adolescent yang diusung, film ini sedikit banyak menampilkan adegan kehidupan yang mendobrak pakem-pakem normatif masyarakat. Yusuf seakan tidak bisa lepas dari ganja dan Ambar yang akrab dengan kehidupan malam bertemu dan saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Kata Ambar, “Apa gunanya punya pikiran sendiri kalau selalu percaya sama pikiran orang”. Namun, Ambar adalah kebebasan semu. Ia bisa bertindak sesuka yang ia mau, namun pada akhirnya tidak pernah benar-benar bebas. Salah satu scene yang merujuk ke asumsi itu adalah saat Ambar dan Yusuf sedang berada di Sendang Sono. “Gue takut bukan apa-apa. Gak bakal jadi apa-apa,” kalimat ini yang diucapkan oleh Ambar. Ambar terkurung dengan kegelisahannya akan masa depan.
Film ini banyak menampilkan dialog keseharian yang mengkritik hal-hal normatif di sekitar mereka. Mulai dari pandangan tentang agama, pernikahan, hingga dalam hal membangun hubungan sosial.
Ambar mengkritik keputusan kakaknya yang menyetujui pernikahan. Baginya, keputusan kakaknya itu justru mengonfirmasi betapa ia tidak punya hak pilih. Tapi bagi Yusuf, keputusan Adin (kakak Ambar) untuk menikah itu karena usianya 27.
“Pas lo umur 27, lo akan mengambil sebuah keputusan penting yang akan mengubah hidup lo”, kalimat ini diulang hingga tiga kali oleh Yusuf. Menurutnya, usia 27 adalah waktu dimana pintu-pintu dibuka atau ditutup oleh tuhan. Selain usia 27, waktu penting menurut Yusuf adalah usia 29 tahun. Tepat di usia 29, posisi bumi dengan planet Saturnus kembali ke posisi awal saat kita baru lahir. Planet Saturnus inilah yang mempengaruhi alam bawah sadar, naluri alamiah manusia pun keluar semua.
Yusuf menggunakan konsep astrologi dalam memaknai kehidupan. Alih-alih melihat astrologi hanya sebatas zodiak, ia memilih untuk memaknainya menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Persis dalam kalkulasi astronomi, Saturnus membutuhkan waktu kurang lebih 29,5 tahun untuk kembali ke posisi awal ketika kita dilahirkan (Saturn return). Periode inilah yang direlasikan dengan keadaan untuk menerima, menemukan diri, keberanian untuk memutuskan, dll.
Akhir yang Canggung
Dialog ringan dikemas lebih lama dalam rentang waktu tiga hari perjalanan. Selama tiga hari inilah, Yusuf dan Ambar mendapati banyak situasi untuk merenungi kehidupan hingga mencukupkan amunisi untuk mengambil keputusan penting bagi kehidupan mereka kedepannya.
Film ini diakhiri dengan adegan dimana Ambar dan Yusuf bertemu di sebuah pesta, tapi menampilkan ekspresi dan dialog yang sangat canggung. Pada cerita yang terbangun dari awal sampai saat Ambar akhirnya keluar negeri, scene terakhir di pesta itu terkesan berlebih. Meski memang, keduanya juga kerap kali menampilkan ekspresi kekaguman satu sama lain. Namun tetap saja, perjalanan cerita mereka terlalu sederhana untuk mendapat ending dengan ekspresi dan dialog secanggung itu.
Konon, film ini cukup mendapat banyak sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Kemungkinan besar, scene yang justru menguatkan adegan penutupnya justru ada di scene yang dipotong. Namun bagaimanapun, Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti berhasil membangun chemistry antara Yusuf dan Ambar. Sangat patut diapresiasi.