“Women Talking” merupakan film sutradara Sarah Polley berdasarkan novel bertajuk serupa karya Miriam Toews. Cerita yang ditulis oleh Toews terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi di komunitas terisolasi, Mennonite di Bolivia. Dimana sekelompok wanita mengalami pelecehan seksual dan manipulasi dengan ajaran agama kurang lebih selama empat tahun.
Meski demikian, film Polley tidak dikategorikan sebagai ‘film berdasarkan kisah nyata’, karena semua karakter, percakapan, dan plot yang disajikan tidak akurat dengan apapun yang terjadi di koloni Mennonite.
“Women Talking” konsepnya cukup serupa dengan “12 Angry Men” (1957), meski banyak elemen, intisari, dan konflik yang sangat berbeda, kedua film ini sama-sama menonjolkan ‘kekuatan percakapan’ dan diskusi dengan tujuan mencapai kesepakatan yang diyakini sebagai kebenaran.
“Women Talking” adalah salah satu film terbaik 2022. Film ini juga masuk dalam nominasi Best Picture Oscar 2023 lalu, kini sudah bisa di-streaming di Prime Video.
Memahami Latar dan Topik Utama dalam “Women Talking”
“Women Talking” menjadi film yang sangat padat dialog dengan durasi 1 jam 44 menit. Yang dibicarakan oleh wanita-wanita dalam kisah ini adalah realita mengerikan dari para pria dalam koloni mereka yang akhirnya terungkap setelah bertahun-tahun disembunyikan dalam rupa mimpi buruk dan mitos; bahwa mereka ‘diserang’ oleh iblis. Ternyata bukan iblis atau monster, namun pria dalam koloni (suami, saudara laki-laki, dan segenap saudara-saudara satu koloni) menyelinap ke kamar para perempuan pada malam hari.
Membuat mereka terlelap dengan obat penenang ternak kemudian melakukan pelecehan ketika korban tak dasar. Setelah kenyataan tersebut terungkap, sekolompok wanita dalam koloni tidak tinggal diam dan mendiskusikan apa yang akan dilakukan berikutnya; melupakan, bertahan dan melakukan perlawanan, atau meninggalkan koloni.
Film adaptasi ini tidak terlalu memberikan banyak informasi tentang latar lokasi, waktu, dan latar belakang koloni agama dalam naskahnya. Karena memang lebih fokus dengan perkembangan perbicangan menyikapi masalah utama.
“Women Talking” bukan film period drama, latar sesungguhnya akan terungkap bahwa kisah ini berlatar pada tahun 2010. Namun seperti koloni religius pada umumnya, mereka mengisolasi anggotanya dari peradaban modern.
Pemberdayaan Perempuan yang Anggun, Tenang, dan Lugas Tanpa Dramatisir
Menyimak sinopsis “Women Talking”, mungkin muncul berbagai asumi tentang film secara keseluruhan. Hal tersebut disebabkan dengan potret koloni agama, sekte, dan topik pelecehan pada perempuan yang beberapa tahun belakangan diangkat dalam film maupun serial dengan penuh konten disturbing hingga mampu memicu trauma bagi penonton yang sensitif akan topik bersangkutan. Namun “Women Talking” jauh dari asumsi-asumsi tersebut. Ini tak lebih dari sekelompok wanita yang melakukan perbincangan, melakukan pengambilan suara, mendaftar pro dan kontra dari berbagai keputusan yang akan mereka ambil.
Amarah, sakit hati, kegelisahan, dan trauma dari pelecehan yang dialami setiap wanita lebih banyak ditampilkan melalui bagaimana karakter-karakternya berpendapat. Ona (Rooney Mara) diperlihatkan sebagai wanita yang tenang dan bijak, dengan kecenderungan bersandar pada ajaran kasih sayang.
Kemudian ada Salome (Claire Foy) dan Mariche (Jessie Buckley) yang lebih tempramental karena insting melindungi dan cintanya yang sangat besar pada anak-anaknya. Lalu ada Mejal (Michelle McLeod) yang memiliki anxiety disoder dan panic attack, hingga memiliki kebiasaan menenangkan diri dengan merokok. Sementara Melvin (August Winter) yang mengalami trauma sampai tak bisa bicara lagi dan bersembunyi dalam persona laki-laki.
Ini juga bukan drama tentang rencana pelarian yang terlalu menegangkan jika disimpulkan dari keseluruhan plot. Tidak ada adegan kekerasan atau pelecehan pada perempuan yang dieksploitasi secara visual. Tidak ada adegan kucing-kucingan dengan kelompok pria. Jadi cukup ramah untuk penonton dengan segmentasi yang lebih luas.
Tidak Menjadikan Kaum Pria sebagai Masalah Utama
“Women Talking” tak hanya fokus membahas perundungan dan pelecehan yang terjadi pada mereka, dimana mereka adalah korban utama dalam peristiwa ini. Naskah film dengan dialog berbobot ini tidak melewatkan masalah dari berbagai aspek. Media utama yang mengangkat tema perundungan pada kaum perempuan dewasa ini kerap memperlihatkan kaum pria sebagai ‘pejahat’. Tanpa memahami apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan anak laki-laki sebelum berubah menjadi pria dewasa yang melakukan kejahatan.
Kehadiran Ben Whisaw sebagai August juga lebih dari sekadar penampilan akting yang berkualitas (terutama dengan lawan aktinya Rooney Mara), namun memberikan poin bahwa bukan ‘pria’ yang menjadi musuh besar dalam kisah ini. Ketika karakter-karakter wanita menjadi representasi suara wanita, naskah dengan adil memberikan karakter pria yang tepat untuk memberikan suaranya juga.
“Women Talking” lebih dari sekadar film, ini adalah ‘speech‘ yang patut disebarkan pada penonton seluas-luasnya. Dengan naskah berbobot yang mencangkup berbagai sudut pandang terhadap topik, minim konten kekerasan visual, serta jauh dari tipikal skenario melarikan diri yang suspense dan dramatis, film tentang pemberdayaan wanita dan usaha keluar dari ketidakadilan komunitas mencelikan intisari yang kerap luput di-highlight oleh film (maupun serial) dengan konflik serupa.