Widi Puradiredja dikenal sebagai penjaga beat, otak, dan mesin dari grup musik Jazz terbesar dua dekade belakangan ini, Maliq & D’Essentials. Widi merupakan pencipta lagu ‘Untitled’; judul lagu milik band asal Ibukota dengan jumlah pendengar terbanyak di layanan streaming hingga saat ini dan yang paling ditunggu oleh penonton saat Maliq & D’Essentials di atas panggung.
Selain itu, Widi juga banyak terlibat dalam projek musik seperti memproduseri banyak musisi Indonesia, sebut saja Glenn Fredly, Marcell, 21st Night, Soulvibe, dan Neurotic.
Seperti idolanya Philippe Zdar dari grup elektronik asal Prancis, Cassius, Widi memang sangat low profile daripada ke-enam personil Maliq & D’Essentials lainnya. Tidak heran untuk mencari profil dirinya pada search engine dibutuhkan usaha lebih.
Cultura berhasil menghubungi Widi di tengah kesibukannya melalui daring dan ngobrol mengenai kolaborasi. Satu terminologi yang sedang menjadi komoditas kata sebagai suatu alat berjualan sekarang ini.
Menurut adik dari Eki Puradiredja, saat ini merupakan era untuk membuat sebuah kolaborasi, tidak hanya soal karya tapi juga di pre-produksi dan post-produksi. Kolaborasi dari sisi bisnis juga sering terjadi, jadi ini adalah era dimana orang bisa langsung terkoneksi secara langsung dan mudah. Apalagi sekarang ini era keterbukaan platform, media, dan jalur penyampaian sebuah karya.
Widi sendiri mendefinisikan kolaborasi sebagai penggabungan ide dan pemikiran dari dua atau lebih dari idealisme yang digabung menjadi satu kesatuan berupa karya. Menjadi sebuah tantangan karena dalam sebuah kolaborasi ada tahapan dimana, siapa, atau apa yang akan dikolaborasikan.
“Itu hal yang sulit. Contohnya, yang pernah gue kerjakan, Isyana dengan Deadsquad. Saat eksekusi mungkin mudah karena perihal teknikal tapi yang menjadi tantangan terberatnya adalah terciptanya ide, bagaimana style Isyana cocok disandingkan dengan siapa. Di situ ada riset dari masing-masing karya musisi. Jadi tahapan pre-kolaborasi ini menjadi tantangan terberat,” menurut Widi.
Kolaborasi tidak hanya dalam sebuah karya, sekarang kolaborasi bisa terjadi disemua bagian. Misalnya, dari bisnis, marketing, pembentukan konsep, kolaborasi ide, dan lain sebagainya. Walaupun mungkin hasil akhirnya tidak berbentuk karya tetapi dari berbagai elemen.
Untuk aturan main sebuah kolaborasi, menurut Widi enggak ada aturan dalam sebuah karya semua bisa dilakukan. “Misal dalam musik, satu nada aja deh, jika satu nada itu menjadi bagian penting dalam karya dan memberi impact yang bagus untuk karya tersebut, itu bisa disebut kolaborasi. Jadi, enggak ada porsi seperti 50:50 atau 90:10 dalam sebuah kolaborasi, semua bisa terjadi.”
Sebagai seorang yang berpengalaman sebagai performer atau sebagai penggagas acara, Widi melihat kolaborasi masih memiliki nilai yang menjual, di luar hasilnya baik atau tidak. Cuman menurutnya, makin kesini karena maraknya kolaborasi, masyarakat semakin pintar untuk menilai. Saat judul kolaborasi tidak menarik, hal ini bisa menjadi boomerang untuk pihak penyelenggara.
Kenapa kolaborasi sangat menjual? Widi menjawab, “Penikmat karya selalu ingin sesuatu yang baru dan menjual. Harapannya, bisa terjadi idealisme baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, ini untuk hal karya. Dari perspektif bisnis, kolaborasi menjual karena pihak penyelenggara memiliki kelebihan diri masing-masing yang bisa dituangkan dalam kolaborasi itu. Pihak penyelenggara pasti memberikan kekuatan terbaik mereka, jadi kekuatan satu dengan lainnya digabungkan menjadi satu.”
Sekarang ini Widi sedang disibukkan dengan projek kolaborasi untuk sebuah festival musik dan dipercaya sebagai curator. “Kolaborasi ini cukup rumit karena melibatkan banyak pihak untuk berkolaborasi dari tim video dan audio untuk para performer dan ini enggak hanya dua performer yang akan berkolaborasi tapi sampai dua belas performer. Tantangan gimana menyatukan kolaborasi ini menjadi satu flow yang menarik dan enggak dragging. Pastinya, kelebihan dari masing-masing performer harus menonjol,” jelasnya.
Penggebuk drum kelahiran tahun 1981 ini mengaku selalu tertarik dengan ide kolaborasi yang ‘nyebrang’ banget atau complex, meskipun saat ini dirinya belum ada ide ingin mengkolaborasikan siapa dengan siapa. Widi memberi contoh dari ‘nyebrang’ banget yang ia maksud, “jago banget dengan jago banget atau jago banget dengan yang skillnya kurang.
Contohnya, tahun ini gue ada projek Jason Ranti kolaborasi dengan Tomorrow People Ensemble, Jeje dengan skill yang biasa aja digabungkan dengan Tomorrow People Ensemble yang isinya skillful, menjadilah sesuatu yang menarik. Contoh lainnya, Isyana dengan Deadsquad, Isyana dengan sisi pop-nya meskipun sekarang musiknya progressive dengan Deadsquad yang metal,” jelasnya.
Ketika dirinya ditanya kenapa tertarik untuk mengkolaborasikan mereka, Widi menjawab, “semua itu berangkat dari selera pribadi, maksudnya siapa pun yang membuat sebuah kolaborasi harus paham dengan artist yang akan dikolaborasikan. Saat menghayal gue harus tau apa kelebihan dari si artist, ngebayangin saat mereka bertukar ide harus dapet chemistry karena kalau enggak jadinya gagal dan hanya menjadi sebuah featuring. Gue kurang suka dengan ide featuring ini,” Widi bercerita.
Tantangan dari kolaborasi yang complex, “pertama adalah ide awal, mau enggak sih mereka untuk dibuatkan sebuah kolaborasi karena kalau di tahapan ini mereka udah enggak excited akan susah kedepannya. Tantangan kedua, eksekusi di lapangan, teknis sound dan brief tim audio supaya kolaborasi ini akan menarik. Gue sangat menilai kolaborasi sangat berbeda banget dengan sebuah featuring,” jelas Widi menjawab tantangan dari sebuah kolaborasi.
Sebagai seorang jenius dalam musik, Widi memiliki pandangan yang sangat berbeda ketika bekerja sebagai producer dengan menjadi performer bersama Maliq & D’Essentials. Menurutnya producer punya idealisme yang berbeda dengan artist. Mereka biasanya punya gambaran yang lebih general A-Z.
Documenter dari Jay-Z, yang menghadirkan Timbaland, Kanye West, Pharrell dan jagoan jagoan producer untuk berkolaborasi, menjadi inspirasinya. “Meskipun mereka enggak berbicara kolaborasi dalam satu lagu tapi untuk berkolaborasi, sekedar brainstorm untuk album tersebut menurut gue itu gila banget!” tukas Widi.
Untuk dirinya pribadi kolaborasi antara pribadi Isyana dengan Deadsquad menjadi favorit yang pernah dirinya lakukan. Selain itu, kolaborasi antara Barasuara dengan Efek Rumah Kaca juga menjadi kebanggaan dirinya, “karena itu memberikan impact kepada band tersebut dan juga orang orang yang terlibat dalam kolaborasi itu,” cerita Widi.
Selain kolaborasi antara musik, Widi juga terkesima dengan kolaborasi antar brand. Favoritnya adalah Channel dengan salah satu member N.E.R.D, Pharrell. “Gue suka pendekatan waktu Pharell dengan Channel, kok somehow make sense ya, Pharell dalam glamornya Channel meskipun dari produk gue enggak terlalu berambisi untuk punya tapi pengemasannya gue sangat suka,” Widi bercerita.
Kolaborasi produk synthesizer antara Dave Smith dengan Tom Oberheim juga menjadi kolaborasi antar brand yang dirinya favoritkan. “Gue amaze karena dulu mereka adalah kompetitor tapi sekarang mereka bisa berkolaborasi membuat produk re-issue dari karya yang mereka buat tahun 1970 dan di produk itu gue mendapat roh nostalgia dan story mereka karena gue enggak melihat sebuah kolaborasi hanya dari estetika, jadi kurang asik,” Widi menjelaskan.
Untuk Kolaborasi synthesizer terbaik menurutnya jatuh kepada scoring music yang berhasil membawa pulang piala Oscar tahun 2011 berjudul, Social Network. Sebenarnya penggunaan synthesizer lumrah digunakan pada music scoring di tahun 1970 hingga 1980, namun untuk music scoring untuk Social Network menjadi pendekatan baru di era ini, “Trent Reznor membuat scoring dengan element music yang penuh dengan synthesizer menjadi mudah dicerna sehingga terdengar pop, gue selalu suka ketika sesuatu yang complex dapat diterima dengan mudah dan menjadi sesuatu yang make sense untuk telinga awam,” lanjut Widi.