Connect with us
Penjelasan & Analisa Kelebihan Film The Power of the Dog
Netflix

Entertainment

Penjelasan & Analisa Kelebihan Film “The Power of the Dog”

Film dengan narasi visual kuat dan topik menarik untuk dipahami.

“The Power of the Dog” merupakan film western drama terbaik pada 2021. Bersamaan dengan kepopuleran dan ulasan positif yang dituai, ada beberapa pihak yang menunjukan respon negatif pada film karya Jane Champion ini. Salah satu komentar yang sedang panas belakangan ini adalah respon negatif dari aktor Amerika, Sam Elliott. Dalam podcast WTF yang dibawakan oleh Marc Maron, Elliott tak menahan diri untuk menyebutkan bahwa “The Power of the Dog” adalah film yang buruk. 

Meski Elliott sempat menyebutkan bahwa Ia menganggap Jane Champion adalah sutradara brilian, pernyataan berikutnya bisa dibilang cukup offensive. “Apa yang wanita ini ketahui dari sana (New Zealand), tentang West Amerika?”, ungkap Sam Elliott. Champion memang seorang sutradara asal New Zealand. Ia juga melakukan syuting film ini di perbukitan New Zealand meski dalam naskah latar cerita berlokasi di Montana.

Lebih dari sekadar akurasi lokasi syuting, Elliott merasa bahwa penokohan Phil Burbank yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch bukan representasi cowboy Amerika yang akurat. 

Sam Elliott sendiri merupakan aktor senior yang telah menjadi bintang di banyak film western drama seperti “Tombstone” (1993), “Conagher” (1991), “The Quick and the Death” (1987) dan masih banyak lagi. 

Tak hanya Sam Elliott, beberapa audience review di Google juga memberikan komentar negatif. Ada yang menyebutkan bahwa film western drama Netflix ini membosankan hingga tidak memiliki plot. Ada yang pula yang memberikan komentar dengan kontradiksi, bahwa Benedict Cumberbatch tampil dengan akting memukau, namun ceritanya tidak memikat sama sekali. Bagaimana bisa kita memuji akting seorang aktor jika kita tidak menikmati film secara keseluruhan? 

Berikut beberapa analisa kelebihan dari film “The Power of the Dog” yang mungkin belum dipahami oleh beberapa dari kita. Analisa ini akan berisi banyak spoiler penting dari plot film ini. Untuk yang belum menonton bisa membaca review The Power of the Dog.

(Spoiler Alert!)

The Power of the Dog

The Power of the Dog Merupakan Adaptasi Novel oleh Penulis Amerika

Jane Champion mungkin memang tidak tahu banyak tentang kehidupan cowboy di Amerika. Oleh karena itu, naskah film ini diadaptasi dari novel karya novelis Amerika, Thomas Savage pada 1967. Champion menulis naskah film ini berdasarkan cerita dan pemahaman yang Ia dapatkan ketika membaca novel western Amerika berjudul serupa tersebut. Sebagai filmmaker, sutradara perempuan ini telah melakukan eksekusi naskah yang disesuaikan bakatnya; yaitu mewujudkan setiap narasi dalam buku dalam yang berwujud tulisan, menjadi narasi visual yang detail. 

Tak sedikit film adaptasi buku yang biasa-biasanya hanya copy-paste kisah di buku menjadi naskah film. Tanpa usaha teknikal lebih untuk menyulap cerita novel menjadi naskah yang berkualitas.

Salah satu kekuatan utama dari “The Power of the Dog” adalah naskah yang menghasilkan film ini sangat kuat dalam narasi visual. Kita bisa membayangkan setiap narasi latar dari novel diwujudkan dalam adegan dengan sabar. Itu mengapa film ini masuk dalam kategori slow-burn atau slow-paced. Alur film ini juga kronologis (tanpa flashback), seharusnya sangat mudah dipahami, kuncinya adalah memperhatikan adegan demi adegan. Salah satu film adaptasi buku dengan eksekusi narasi visual serupa contohnya adalah “Shirley” (2020). 

Sebagai salah satu nominator dalam Oscar 2022 kategori Best Adapted Screenplay, “The Power of the Dog” memiliki peluang tinggi untuk menang. 

Baca Juga: 10 Film Terbaik yang Mengandalkan Narasi Visual

Berikut beberapa analisa kelebihan dari film “The Power of the Dog” yang mungkin belum dipahami oleh beberapa dari kita

Sinematografi Menggugah dengan Panorama Perbukitan New Zealand

Banyak sutradara Hollywood melakukan syuting di New Zealand jika berambisi menampilkan panorama alam dan perbukitan hijau yang menawan. Berbeda di Amerika atau negara-negara besar lainnya, semakin sulit mencari lokasi syuting perbukitan dengan medan aman, namun tetap memberikan panorama alam 360 derajat yang otentik tanpa penampakan gedung modern. Salah satu film lama dengan latar naskah di Jepang namun melakukan syuting di New Zealand adalah “The Last Samurai” (2003). 

Tak hanya Sam Elliott yang berpikir bahwa konyol film western cowboy berlatar di Montana ini harus syuting di New Zealand. Dan kebetulan saja sutradaranya juga orang lokal. Kesannya, netizen mengkritik bahwa Champion sudah seenaknya me-New-Zealand-kan film western Amerika garapannya tersebut. Aspek ini sebetulnya tidak penting untuk dipermasalahkan dalam filmmaking.

Objektif sebuah feature film dengan reka adegan fiksi adalah menciptakan karya seni film yang artistik. Segala teknik dan keputusan yang diambil dalam proses produksi adalah mengutamakan; eksekusi seperti apa yang akan membuat film ini terlihat sinematik dan menggugah sebagai karya seni.

“The Power of the Dog” menghadirkan panorama wide angle yang selalu menggugah dengan memilih syuting di New Zealand. Bayangkan melihat film ini di layar lebar, kita mungkin bisa mengapresiasi lebih lagi sinematografi yang telah diusahakan.

Mengungkap Isu Toxic Masculinity Dalam Komunitas Cowboy

Satu lagi elemen terkuat dalam film ini adalah penokohan Phil Burbank sebagai cowboy yang menyimpan rahasia tentang jati dirinya. Identik dengan komunitas yang maskulin, Phil merasakan tekanan akan orientasi seksualnya. Memilih untuk menyembunyikan di balik karakter pria yang keras, kasar, dan selalu tampak gusar akan segala hal. Menyedihkan jika kita mendengar ada yang mengomentari bahwa ‘cowboy tidak seperti itu’, ‘cowboy tidak mungkin menyukai sesama gender’ setelah menonton film ini. Itu dia, justru itulah bukti nyata bahwa masih ada toxic masculinity di setiap komunitas yang meyakini bahwa setiap orang memiliki stereotip tertentu. 

Sebagai bintang utama, Benedict Cumberbatch menerapkan teknik method-acting dalam proyek film ini. Melalui sebuah wawancara, Kirsten Dunst sama sekali tidak pernah bercengkrama atau ngobrol santai dengan Cumberbatch selama proses syuting, bahkan saat sedang break. Hal tersebut dilakukan karena aktor pemeran Sherlock Holmes ini ingin benar-benar merasakan sikap benci dan tak peduli terhadap karakter yang diperankan oleh Dunst, Rose Gordon. Ia juga dikabarkan sempat tidak mandi beberapa hari untuk benar-benar mendalami karakter Phil. 

Selain Benedict Cumberbatch, aktor pendukung, Kodi-Smit McPhee juga menjadi karakter yang penting dalam menerobos stereotip ‘maskulin’ atau semacam ‘alpha’, sesuai dengan pemahaman Phil dan pria pada umumnya. Pada awal cerita, kita melihat Phil seakan karakter alpha yang memiliki kekuatan lebih untuk merundung Peter secara fisik. Hingga pada akhir cerita, Peter yang dicap flamboyan dan tidak maskulin, keluar sebagai alpha yang berhasil memutar keadaan sesuai dengan kehendaknya. 

Peter juga sebetulnya memiliki keberanian dan kekuatan lebih besar dari Phil; Peter tak takut menjadi dirinya sendiri. Ia mengaku bahwa keahlian fisik bukan kekuatan utamanya. Namun di lain kesempatan, Ia menunjukan kelebihan lain dari dirinya. Ia tak malu bahwa apa yang Ia lakukan dianggap feminin atau lemah. Berbeda dengan Phil yang seumur hidupnya telah menyembunyikan jati dirinya. Kalau bicara soal nyali, dengan begini Peter yang lebih berani, bukan? Dengan skenario yang terjadi di antara Phil dan Peter, siapa yang pada akhirnya pria sejati dan maskulin? 

Penjelasan Alur Cerita The Power of the Dog

Seperti yang telah dijelaskan, film ini memiliki kekuatan pada narasi visual. Dimana kita sebagai penonton harus memperhatikan dengan jeli. Seharusnya lebih mudah untuk dipahami ketimbang alur cerita harus diputar-putar agar terlihat kompleks atau diberi narasi voice-over. Berikut ringkasan penjelasan “The Power of the Dog” bagi kita yang belum paham.

Film dimulai dengan Peter yang menyatakan bahwa ia akan melakukan apapun untuk membuat Ibunya, Rose, bahagia. Kemudian Rose mendapatkan kesempatan untuk jatuh cinta dan bahagia dengan menikahi George Burbank, saudara Phil. Meski George sejahtera dan telah menjadi suami yang baik, Rose tidak justru jatuh dalam depresi karena diintimidasi oleh Phil.

Ketika berkunjung ke rumah ibunya yang satu atap dengan Phil, Peter menyaksikan bagaimana ibunya tidak bahagia. Ia secara perlahan merendah dan berusaha menjalin interaksi dengan pamannya tersebut. Seiring Peter mengetahui rahasia Phil, Ia semakin sering menghabiskan waktu dengan Phil. Phil pun semakin merasa nyaman dengan kehadiran Peter di waktu luangnya, karena pemuda ini mengingat dia pada sosok yang ia cintai secara diam-diam di masa lalu namun telah meninggal. 

Bagaimana Phil mati? Peter adalah pembunuh Phil. Ingat kembali adegan yang terasa random ketika Ia menguliti hewan mati dengan sarung tangan di balik bukit. Ia mampu melakukan hal tersebut dengan hati-hati karena Ia mahasiswa kedokteran hewan. Ia pun menjemur kulit hewan mati tersebut yang pada akhirnya digunakan oleh Phil. Ada adegan dimana Ia mencuci kulit hewan tersebut di dalam air dengan luka menganga di tangannya. Hingga pada akhirnya, Phil dinyatakan meninggal karena anthrax. Tanpa ada yang tahu kapan tepatnya Phil melakukan kontak dengan bangkai hewan. 

Pada adegan terakhir, kita melihat Peter menggunakan sarung tangan ketika memegang cinderamata terakhir dari Phil. Terbuat dari kulit bangkai hewan miliknya yang terinfeksi. Lalu, mengapa Peter membunuh Phil? Kembali penyataan di awal film, Ia mampu melakukan apapun demi mewujudkan kebahagian ibunya. Pada akhir cerita, Rose bisa hidup tenang bersama George tanpa intimidasi dari Phil.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect