Connect with us
papermoon puppet theatre
Tala & Puno (Papermoon Puppet Theatre) | Adriyani Ayu

Culture

Melawan Dunia yang Bising Dalam Pertunjukan Teater

Dari pementasan Puno: Letters to The Sky, kita bisa menyimak betapa imajinasi liar dibutuhkan untuk sekadar menginterpretasikan lakon.

Hidup di tengah ramainya kepentingan, membuat dunia jadi “bising”. Akhirnya, salah satu keahlian penting yang wajib dimiliki adalah kemampuan mendengarkan berbagai “suara” dan tidak menganggap bahwa “suara” yang satu lebih baik dari “suara” yang lain. Bagaimanapun, kita telah lama hidup dengan warisan kolonial, seperti menormalisasi rasa rendah diri, melakukan generalisasi, dan menebar stereotipe. Hal-hal semacam ini yang membuat persoalan memilah “suara” tidak sesederhana yang dibayangkan. Alih-alih menjadi manusia merdeka, kita justru seringkali berupaya melakukan kontrol atas ”suara” orang lain. Persis seperti kerja-kerja kolonialisme, terus menerus melakukan upaya penundukan, pengotrolan.

Teater sebagai Medium Perlawanan

Dari masa ke masa, berbagai upaya dilakukan untuk memediasi perlawanan. Teater salah satunya. Teater kontemporer yang dinikmati hari ini lahir dan tumbuh dari narasi historis yang panjang. Peradaban Yunani kuno yang konon mengenalkan teater sebagai seni pertama kali pada sekitar abad ke-6 SM telah meramu teater menjadi bagian penting yang awalnya adalah untuk menyokong ritual keagamaan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.

Di Indonesia, dari masa ke masa, kita mengenal Ketoprak, Wayang Golek, Ludruk, Lenong, Randai, dll. Berbagai bentuk seni teater ini jadi medium spiritualitas, hiburan, dan budaya, serta sebagai penyampai pesan, agen kepentingan, hingga membahasakan perlawanan.

Tentang perlawanan lewat teater, nama Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan nama WS Rendra tentu adalah salah satu memori terbaik jagat teater Indonesia. Keteguhannya dalam mendobrak pakem berteater berhasil menjadikan ia sebagai orang yang dianggap ancaman bagi pemerintah orde baru kala itu. Gerak Rendra dalam menciptakan kebaruan berteater dianggap menganggu “stabilitas nasional”, olehnya perlu dilakukan pengawasan bahkan hingga pelarangan.

Salah satu langkah terbaik Rendra kala itu adalah mementaskan teater yang hanya terdiri dari gerak dan bunyi. Teater ini kemudian dikenal dengan “Mini Kata”. Berangkat dari gejolak politik dan sosial, teater inilah yang memberikan ritme kebaruan pada dunia teater di Indonesia.

Dari Rendra di tahun 1968, kita mengenal Maria Tri Sulistyani bersama tim dengan Papermoon Puppet Teathre-nya hari ini. Mereka menggunakan medium boneka dengan konsep nirdialog yang dominan. Melalui pementasan semacam ini, penonton yang menyaksikan diajak lebih leluasa untuk meramu rasa dan menginterpretasikan asumsi-asumsi liar mereka tanpa riuh.

Boneka tentunya lebih dari sekedar benda mati. Ia termanifestasikan ke dalam masa kecil anak-anak manusia tanpa dibatasi oleh sekat gender, geografis, hingga ekonomi. Dan melalui tangan apik Maria beserta timnya diciptakanlah boneka lengkap dengan “narasi” dan visualisasi yang mengugah hati. Boneka dijadikan medium untuk mengkritik keangkuhan kita pada sejarah 1965, atau pada kebiasaan menafikkan komunikasi intim dengan orang-orang terdekat, hingga pada kita yang lebih banyak bercerita, namun sedikit mendengar.

Punno: Letters to the Sky

Adalah gadis kecil bernama Tala yang melakoni perjalanan emosional sebagai seorang anak. Mulai dari bahagia, hingga kehilangan yang tentu saja berujung pada kesedihan. Seperti anak-anak pada umumnya, Tala mewarnai hari-harinya dengan bermain, sembari terus menikmati waktu demi waktu bersama ayahnya, Puno.

Hingga tiba waktunya, Puno merasakan “bayang-bayang” lain yang membuatnya sedih namun tetap harus bahagia di depan Tala. Puno tahu, waktunya bersama Tala tidaklah lama lagi. Namun tentu ini adalah satu hal yang sulit untuk disampaikannya pada Tala.

Hingga, raga Puno akhirnya benar-benar pergi. Tala larut dalam kesedihan. Ia merasa, ayahnya telah meninggalkannya sendiri. Tidak ada lagi yang mengajaknya bermain, yang memasakkan makanan untuknya, hingga hal yang paling sederhana…memanggil namanya dengan riang gembira.

Namun kesedihan yang dialami Tala membuatnya seolah tetap bisa merasakan kehadiran ayahnya, di tempat dimana Puno dan Tala seringkali menghabiskan waktu bersama-sama. Seolah tak ingin kehilangan kesempatan berharga, Tala terus menuliskan surat di dalam kapal kertas. Menuliskannya saja, tanpa pernah dikirimkan. Tala memang tak lagi melihat wujud ayahnya, namun masa-masa 40 hari sepeninggal ayahnya seolah membuat ia belajar untuk berdamai dengan makna lain dari “bertemu dan bersama”.

Begitulah alur dalam pementasan Puno: Letters to The Sky oleh Papermoon Puppet Theatre. Pementasan yang telah ditampilkan di berbagai Negara dan di beberapa daerah di Indonesia ini telah berhasil menyihir para penikmatnya.

50 Menit yang Magis

Secara personal, menyaksikan pementasan yang minim dialog, bahkan masuk kategori non-verbal performance seperti Puno: Letters to the Sky adalah 50 menit yang magis. Melihat Puno dan Tala adalah meresapi kesedihan, mengingat kebahagiaan, memanen rindu, merajut kembali ingatan dengan orang terkasih, hingga menyelami makna ketakutan akan kehilangan. Baik sebagai seorang Tala, maupun bagi Puno, sebagai orang yang ditinggalkan, maupun yang justru harus meninggalkan lebih dulu.

Dalam 50 menit, beberapa orang bahkan meneteskan air mata. Benar memang, ada banyak hal di dunia ini yang bisa dirasakan tanpa harus dikuantifikasi oleh kata-kata. Gelak tawa, kebahagiaan, raut wajah kesedihan, semuanya sampai. Konsepnya sederhana, kita hanya butuh mata untuk melihat dan hati untuk merasakan.

Pementasan ini memang terinspirasi dari hal yang menakutkan (dalam sudut pandang mayoritas), namun pasti akan terjadi. Apa itu? Kematian. Sebaliknya dalam Puno: Letters to The Sky, justru pesan ini yang ingin disampaikan. Bahwa, kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Tala yang akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada yang benar-benar pergi, ayahnya sekalipun. Kesadaran ini yang membuatnya berusaha untuk berkomunikasi dengan ayahnya, menyampaikan perasaannya, sekalipun itu dengan medium yang berbeda.

Puno dan Tala adalah kita. Ada berapa banyak sih dari kita yang merasa bahwa membincangkan tentang kehilangan, rasa sakit, kecewa, bahkan kematian adalah hal yang biasa? Dalam kisah Puno dan Tala pun jangankan membincangkan tentang semua itu, Tala cukup dengan menjalani hidup yang bahagia dan menyenangkan bersama orang yang ia sayangi. Tidak ada ruang pada narasi-narasi lain. Kesedihan dan kehilangan, misalnya. Sehingga, realitas tentang ketidak hadiran orang lain, tentang fisik yang tidak saling bertemu, tentang hari-hari yang tidak seperti biasanya adalah sesuatu yang mengguncangkan.

Punno: Letters to the Sky Papermoon Puppet

Meja kerja Puno. Tempat ia menuliskan segala kegelisahannya.

Di meja-meja makan pada umumnya, narasi tentang “Keseimbangan hidup” jarang disuguhkan. Juga tentang konsekuensi berbahagia, yang bisa saja datang bersama kesedihan setelahnya atau tentang memaknai kebersamaan yang tidak hanya dari sudut pandang pertemuan semata. Puno dan Tala membawa para pengunjung untuk mengamini bahwa kapanpun perpisahan akan selalu menyisakan sedih. Namun bagaimanapun dan pada konteks apapun, dalam setiap sedih yang ditinggalkan, ada kehidupan lain yang akan tetap berjalan.

Kematian sesungguhnya hanya satu dari banyak nilai yang bisa dilihat dari Puno: Letters to the Sky ini. Nilai sederhana yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa kita tidak mesti menyimpan segala sesuatu sendiri. Ada banyak energi di dalam diri kita yang menguatkan, justru ketika ia dilepaskan. Entah dengan menangis kah, atau bercerita dengan orang yang dipercaya.

Dari pementasan Puno: Letters to The Sky dan Teater Mini Kata oleh Rendra, kita bisa menyimak betapa imajinasi liar dibutuhkan untuk sekadar menginterpretasikan lakon sekian menit. Tidak banyak kata-kata, yang artinya tidak ada yang bisa “diraba”. Sehingga jika ingin menerjemahkan, maka yang paling bisa dilakukan adalah mendengar “suara” yang minim dengan khidmat, juga membaca gerak dengan seksama. Sungguh, bentuk teater semacam ini adalah sebuah kritik atas keterbatasan dunia aksara kita, dunia yang penuh dengan kata-kata, dunia yang bising.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect