“Luckiest Girl Alive” merupakan Netflix Original terbaru yang sedang trending pekan ini. Film drama bergenre psychological suspense ini diangkat dari novel bertajuk serupa karya Jessica Knoll.
Dibintangi oleh Mila Kunis sebagai Ani alias Tiffani Fanelli, perempuan dengan karir sebagai penulis sukses di New York. Bertahun-tahun Ia berusaha membangun kehidupan yang sempurna untuk dirinya sendiri di kota besar.
Ketika hendak meraih kesempurnaan terbesar dengan menikahi tunangan yang mapan dan mencintainya, Tiffani mendapat tawaran sebagai narasumber film dokumenter yang membuatnya harus menuntaskan trauma yang telah menghantuinya semenjak lulus dari SMA.
Satu lagi film bertema feminisme dan mengangkat isu #MeToo, “Luckiest Girl Alive” merupakan sajian yang sedang populer dan cukup kontroversial. Isu ini sudah diangkat terlalu sering belakangan ini dalam film. Diadaptasi dan dieksekusi dengan berbagai angle dan konsep yang variatif.
Beberapa judul terbaik di antaranya, “The Assistant”, “Promising Young Woman”, “The Last Duel”, dan masih banyak lagi. Apakah film arahan sutradara Mike Barker ini mampu menyajikan angle menarik yang baru?
Perempuan Paling Beruntung dengan Masa Lalu Traumatis
Tiffani kini telah menjadi menjadi perempuan dengan kehidupan sempurna dengan nama Ani Fanelli. Ia bekerja sebagai penulis, bersiap untuk dipromosikan ke New York Times, dan menikah dengan laki-laki mapan yang mencintainya, Luke (Finn Wittrock).
Di tengah berbagai agenda kesuksesan baru dalam kehidupannya, Ani mendapat tawaran sebagai narasumber film dokumenter. Seorang sutradara tertarik untuk mengangkat tragedi penembakan di sekolah lamanya, dimana Ia menjadi salah satu korban yang selamat dalam peristiwa tersebut saat masih berusia 14 tahun. Namun, Ani memiliki trauma lebih besar yang sedang berusaha Ia hindari dari masa remajanya di sekolahan tersebut.
Tiffani Fanelli dalam kisah ini menjadi perempuan dengan kehidupan sempurna namun masa lalu yang traumatis. Bukan sebagai korban dengan trauma karena tragedi penembakan di sekolah, namun sebagai remaja yang mengalami pelecehan seksual.
Ide utama dari “Luckiest Girl Alive” adalah bagaimana seorang perempuan dengan kehidupan yang sempurna sekalipun mengalami kesulitan untuk membendung traumanya sebagai korban pelecehan seksual. Semakin Ani merasa tegar, kuat, dan mampu membendung semuanya, semakin kuat pikiran intrusif yang mengganggunya. Sepanjang hidupnya, dalam setiap kesempatan muncul pemicu se-subtle apapun. Film ini berhasil dalam mempresentasikan trauma karakter Ani secara visual dan narasi.
Menonton “Luckiest Girl Alive” mampu membuka angle baru dalam masyarakat masa kini yang judgemental. Bahkan pada perempuan korban pelecehan seksual. ‘Korban’ identik dengan citra perempuan yang tampak lemah, depresi, lesuh, dan memiliki kehidupan yang berantakan. Padahal perempuan sempurna dan beruntung seperti Ani pun juga tidak lepas dari trauma masa lalu jika hanya dipendam terus.
Mengangkat Dua Isu Paling Sensitif di Amerika Serikat
“Luckiest Girl Alive” mengandung dua isu yang paling ramai dibicarakan di media. Terutama masyarakat Amerika Serikat; isu pelecehan seksual di kalangan remaja dan penembakan di sekolah. Meski secara keseluruhan lebih didominasi dengan kisah Ani sebagai korban pelecehan seksual. Kita akan melihat kisah melalui perspektif Ani, di masa sekarang dan masa lalu.
Mila Kunis memerankan Ani yang sudah dewasa, sementara aktris muda, Chiara Aurelia memerankan Ani yang masih remaja. Plot maju mundur dieksekusi cukup rapi untuk diikuti dan dipahami oleh penonton. Baik Mila Kunis dan Chiara Aurelia keduanya sama-sama memberikan kualitas akting yang patut diapresiasi.
Plot untuk peristiwa penembakan di sekolah dalam kisah ini tidak terlalu mendominasi namun dipresentasikan dengan porsi yang cukup. Setidaknya ada latar belakang, kemudian menimbulkan konflik yang bersinggungan dengan kisah Ani sebagai protagonis. Konflik ini juga menambah penokohan pada protagonis yang cukup menarik sebagai karakter fiksi. Di lain sisi Ia adalah korban, namun ada juga bagian dalam dirinya yang menyalahi moral secara umum. Namun, kita tidak bisa menghakimi tersebut setelah memahami keseluruhan kisah Ani.
Mengandung Konten Kekerasan dan Seksual Eksplisit Tanpa Trigger Warning
Sebagai salah satu film yang trending di Netflix pekan ini, “Luckiest Girl Alive” jadi banyak yang menonton. Kemudian menerima banyak komplain karena visualnya yang eksplisit dan termasuk brutal. Film ini menarik perhatian sebagian besar karena Mila Kunis bermain sebagai pemeran utama. Pada keterangan sinopsis di Netflix dan trailer promosinya juga tidak memberi hint bahwa film ini tentang pelecehan dan kekerasan seksual. Tidak semua orang juga menyempatkan diri menonton trailer. Sekilas film ini hanya terlihat sebagai film psychological suspense dengan plot cerita misteri atau bahkan thriller.
Adegan pelecehan seksual dalam film ini ditunjukan dalam adegan secara jelas tanpa diperhalus. Eksekusi adegan demikian untuk topik yang sangat sensitif membuat sutradara tampak tidak memiliki simpati. Begitu juga dengan adegan kekerasan lainnya, dipresentasikan dengan visual yang sangat brutal. Buat penonton yang tidak nyaman menonton adegan pelecehan seksual, adegan kekerasan, dan suara senjata api, film Netflix ini bisa sangat triggering.
Secara keseluruhan, “Luckiest Girl Alive” secara keseluruhan sebetulnya menyajikan angle baru dalam kasus #MeToo. Namun, sebagai film yang mengangkat dua topik paling sensitif di masyarakat luas, sedikit kesalahan bisa menimbulkan komentar negatif yang mampu mempengaruhi ulasan media secara umum. Padahal ada perspektif menarik yang mampu memberikan pemahaman baru dalam film ini.