Connect with us
Jejak rasisme di amerika

Culture

Jejak Rasisme di Amerika: Serangan terhadap Gereja Kulit Hitam

Sejak 1956, setidaknya ada 100 gereja kulit hitam yang diserang sebagai jejak rasisme di Amerika. Padahal ras adalah konstruk budaya.

Beberapa hari lalu terjadi kebakaran di Gereja Notre Dame yang menyentak dunia. Beritanya sampai ke Indonesia bahkan viral di berbagai akun media sosial nasional. Gejera ini telah berusia 800 tahun. Tak hanya menjadi situs religi dan sejarah, Gereja Notre Dame juga menjadi ikon arsitektur bergaya gothic.

Gereja ini sering menjadi latar foto bagi wisatawan mancanegara karena keindahannya. Namun ada yang terlewatkan dari mata dunia yaitu kebakaran yang terjadi terhadap 3 gereja kulit hitam bersejarah di Negara Bagian Louisiana. Kebakaran pertama dimulai 26 Maret lalu berlanjut di tanggal 2 April dan 4 April. Kebakaran ini terjadi dengan sengaja. Motifnya adalah rasisme. Pelakunya telah ditangkap dan diidentifikasi sebagai putra seorang anggota kepolisian.

Sejak 1956, diketahui setidaknya ada 100 kasus penyerangan gereja kulit hitam. Ada empat jenis penyerangan yang dilakukan seperti pengeboman, penembakan, pembakaran, dan vandalisme. Kejahatan-kejahatan ini diklasifikasikan sebagai terorisme domestik. Jeannette Eileen Jones, profesor sejarah dan studi etnis di Universitas Nebraska-Lincoln mengatakan bahwa masyarakat “tidak memahami akar dari anti kulit hitam dalam budaya Amerika”.

Jejak panjang rasisme di Amerika bahkan dapat dirunut sejak 200 tahun lampau ketika sebuah gereja kulit hitam dibakar. Pembakaran gereja itu dilakukan karena diduga kelompok kulit hitam ingin melakukan pemberontakan dan membebaskan diri dari perbudakan. Ingat film 12 Years of Slave (2013)?

Begitulah kira-kira gambaran masyarakat kulit hitam yang berada di kelas sosial paling rendah pada masa itu. Ketika pembakaran terjadi, enam orang jemaat gereja yang juga adalah budak meninggal dunia. Pembakaran ini diikuti pula dengan larangan terhadap seluruh gereja kulit hitam pada 1834. Sejak itu masyarakat kulit hitam beribadah diam-diam.

Dr. James Herron dari Harvard mengatakan bahwa ras atau ideologi rasial adalah bagian dari sejarah dan budaya Amerika. Ideologi rasial merupakan inti dari budaya politik di negeri Paman Sam. Identitas penduduknya dibentuk dari identitas rasial. Tentu saja ini pemikiran yang buruk. Mengangungkan identitas rasial hanya akan membuat masyarakat terkotak-kotak sehingga melanggengkan ketidaksetaraan.

Ketika perbudakan terjadi, penduduk kulit putih di Amerika memandang dirinya superior dan memandang masyarakat kulit hitam seperti barang yang bisa diperjualbelikan. Padahal ras adalah konstruk budaya. Tidak ada ras yang lebih baik atau lebih buruk. Ras adalah klasifikasi biologis manusia. Seseorang bisa jadi terdiri dari beragam ras yang mengalir dalam darahnya sehingga sulit untuk memastikan ia berasal dari satu nenek moyang yang spesifik.

Ada beberapa gambaran lain dari kebencian terhadap kulit hitam selain kasus pembakaran gereja. Mark Herring, seorang jaksa agung, dituntut untuk mengundurkan diri setelah ketahuan mengecat wajahnya menjadi berwarna hitam untuk menirukan seorang penampil Afro-Amerika yang ia kagumi. Thomas Norment, seorang politikus Republicans, mengakui bahwa ia juga mengecat wajahnya menjadi hitam agar terlihat seperti Michael Jackson dalam sebuah kontes menari di tahun 1984. Kedua kasus ini disebut cultural appropriation.

Cultural appropriation adalah adopsi adat, praktik, gagasan, penampilan, dan lain-lain yang dilakukan tidak pantas oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya lebih dominan. Seorang kulit putih tidak pantas dan tidak berhak mewarnai kulitnya seperti seorang kulit hitam hanya karena ia merasa hal itu bagus atau menyenangkan. Ia juga tidak boleh melakukannya untuk alasan mendapatkan profit seperti misalnya memerankan karakter kulit hitam dalam sebuah film. Meski demikian sayangnya masih banyak yang memandang cultural appropriation sebagai masalah sepele.

Selain 12 Years of Slave, film Green Book (2018) juga menggambarkan dengan sangat baik bagaimana rasisme terjadi di Amerika. Salah satu scene dalam Green Book menunjukkan seorang kulit putih yang mengundang musisi kulit hitam untuk tampil di rumahnya. Ia menyuruh musisi itu buang air kecil di halaman belakang rumah dan tak memperkenankan penggunaan toilet.

Pada masa itu, warga kulit hitam diperlakukan seperti hewan dan tak dianggap pantas menggunakan fasilitas yang dimiliki warga kulit putih. Pintu masuk ke dalam toko untuk warga kulit putih dan kulit hitam pun dibedakan. Bahkan ada restoran maupun hotel yang tidak menerima pelanggan berkulit hitam.

Hal yang menyedihkan adalah isu rasial kembali menguat setelah Trump terpilih dengan slogannya yang bertajuk “Make America Great Again”. Hate crimes di Amerika meningkat hingga 17% dibanding tahun lalu. Dari 7.000 insiden yang terjadi, 2.013 kasus di antaranya adalah kejahatan yang menjadikan warga kulit hitam sebagai target. Contoh kecil dari perlakukan rasis adalah bully yang terjadi antara siswa kulit putih kepada siswa kulit hitam. Ejekan yang digunakan ditujukan secara spesifik untuk menyerang identitas rasial korbannya.

Ketegangan yang meningkat di Amerika membuat negara itu menjadi mundur. Meski demikian masih ada harapan di Amerika, juga dunia. Setelah padangan publik dunia yang terarah pada Notre Dame mendorong donasi massal untuk biaya renovasi gereja itu, kini ketiga gereja di Louisiana pun telah berhasil mendapatkan donasi sebesar 1,8 juta dollar.

Industri film Hollywood juga turut andil dalam memerangi rasisme dengan memproduksi film-film yang merepresentasikan berbagai etnis maupun ras. Dua tahun terakhir kita mulai melihat wajah-wajah dari aktor maupun aktris kulit berwarna sebagai pemeran utama.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect