“Homunculus” merupakan salah satu manga seinen terbaik karya Hideo Yamamoto. Terdiri dari 15 volume, manga ini bercerita tentang pria dengan latar belakang misterius bernama Susumu Nakoshi.
Hidup luntang lantung tanpa tujuan, suatu hari Ia bertemu dengan Manabu Ito yang menawarinya sebuah kesempatan tidak biasa, yaitu melakukan sebuah eksperimen membuka mata ketiganya dan melampaui kemampuan manusia biasa dalam melihat dunia.
Dengan tema fiksi ilmiah dan supranatural, “Homunculus” mengangkat konten yang cukup gelap, imajinatif, namun tetap relevan dengan realita kehidupan yang suram. Konsep fiksi ilmiah dalam cerita karya Yamamoto ini cukup original dan sangat menarik buat penggemar genre psychological thriller. Belum diangkat menjadi anime, Netflix mengangkat “Homunculus” sebagai Netflix Original Movie.
Dalam project ini, Yamamoto ambil bagian dalam penulisan naskah, bersama dengan Takashi Shimizu sebagai sutradara. Ini bukan kali pertama Netflix mengangkat project live-action dari manga suspense terbaik. “Death Note” merupakan salah satu contoh gagal, sementara serial “Alice in the Borderland” merupakan produk yang cukup sukses. Bagaimana dengan film live action “Homunculus”?
Sinematografi Standard dengan Ciri Khas Serial/Film Jepang pada Umumnya
“Homunculus” memiliki visual yang sudah familiar dengan film maupun serial Jepang. Filter yang digunakan cukup serupa dengan “Alice in the Borderland” dan “Ride or Die”, dimana keduanya juga memiliki vibe suram yang serupa dengan film suspense terbaru ini. Namun, dalam segi sinematografi, “Homunculus” tidak terlalu banyak memperhatikan estetika sebuah frame, angle yang diaplikasikan bisa dibilang standard.
Film ini juga mengandalkan CGI untuk menghidupkan setiap monster dalam kisah ini. CGI yang diterapkan sudah cukup berkualitas untuk memberi highlight pada setiap adegan, karena penampilan setiap monster dalam film ini cukup esensial dan perlu dieksekusi dengan baik.
Film psychological thriller ini juga menunjukan cukup banyak adegan yang disturbing dan gore. Mulai dari kekerasan seksual, aksi menyakiti diri sendiri, dan ‘prosedur’ yang dilakukan untuk membuka mata ketiga. Buat yang sensitif dengan film gore dengan darah dan adegan kekerasan yang eksplisit, “Homunculus” bisa menjadi film yang cukup traumatis dan bikin ngilu selama menonton.
Representasi Dua Karakter Utama yang Tetap Ikonik, Didukung dengan Akting Berkualitas
Susumu Nakoshi (Go Ayano) dan Manabu Ito (Ryo Narita) merupakan dua karakter utama yang esensial dalam “Homunculus”. Keduanya memiliki hubungan dan perkembangan interaksi yang menjadi salah satu plot twist dalam kisah ini. Salah satu hal yang membuat kita bertahan lama untuk menonton film ini salah satunya adalah kualitas akting dari kedua aktor, Go Ayano dan Ryo Narita.
Selain melalui make up dan pemilihan wardrobe yang tepat, keduanya juga mampu menghidupkan karakter manga yang kerap eksentrik dan tidak mudah diwujudkan dalam sebuah live-action.
“Homunculus” sendiri sebetulnya tidak memiliki karakter utama yang seunik manga pada umumnya, berkat genre seinen yang kerap memuat konten dewasa dan lebih dekat dengan realita. Selain penokohan yang konsisten, setiap aktor maupun aktris mampu memberikan akting emosional yang menyakinkan. Bermain dengan naskah yang mind-bending, ada kalanya adegan menuntut karakternya mengalami breakdown dan frustasi yang mendalam.
Sayangnya, durasi yang minim memangkas latar belakang Susumu Nakoshi sebagai protagonis dalam kisah ini. Kita hanya diberi fakta bahwa Nakoshi adalah seorang gelandangan yang kaya; Ia tidur di mobilnya, namun memiliki cukup uang untuk makan di restoran hotel yang mewah. Jelas kita membutuhkan penjelasan bagaimana Nakoshi bisa berakhir di jalanan.
Hal tersebut sama sekali tidak diungkap dalam film secara naratif, hanya melalui beberapa penggalan adegan dengan asumsi penonton bisa langsung paham. Padahal kompleksitas masa lalu dan pandangan hidup Nakoshi merupakan salah satu kekuatan dari suksesnya manga “Homunculus”.
Plot dan Perkembangan Cerita yang Dipangkas, Menjadi Film dengan Materi yang Prematur
Tak hanya latar belakang Nakoshi yang dipangkas, keseluruhan kisah adaptasi manga ini mengalami banyak mutilasi. Live action “Homunculus” terbentuk dari berbagai potongan kisah dan adegan dalam manganya yang setengah-setengah. Ada beberapa adegan vulgar yang mungkin dipotong agar tidak terlalu disturbing, namun ada juga esensi cerita yang dihilangkan dan membuat konsep fiksi supranatural dalam kisah ini jadi prematur.
“Homunculus” memiliki teori fiksi ilmiah dan supranatural yang original dan kompleks, dimana setiap orang memiliki monster dalam dirinya sebagai metafora dari apa yang menjerat mereka secara batin. Jeratan tersebut bisa berupa sesuatu yang menjadi sumber stress maupun rasa salah dari masa lalu yang terus menghantui.
Tak sesederhana itu, ada perkembangan teori dari prosedur indera keenam yang cukup rumit seiring berjalannya cerita. Oleh karena itu, tugas pertama dari creator live action ini adalah untuk membuat penonton paham dan percaya dengan teori fiksi yang hendak mereka sajikan. Karena cerita yang terasa dikebut dengan durasi minim (bahkan tidak sampai 2 jam) akan membuat penonton berpikir bahwa film ini memiliki cerita yang aneh.
“Homunculus” ciptaan Hideo Yamamoto tidak diragukan lagi memiliki premis dan konsep supranatural yang sangat original. Bagi penikmat manga, jangan habiskan waktu kalian untuk menonton versi live actionnya, lebih baik investasikan waktu untuk langsung membaca manganya daripada film dengan naskah yang tidak mengadaptasi konsep “Homunculus” secara maksimal.