Connect with us
ammatoa kajang
All photos by Adriyani Ayu

Culture

Berkenalan dengan Masyarakat Adat Ammatoa

Masyarakat adat Ammatoa tumbuh dengan rasionalitas kearifan mereka sendiri.

Sulawesi Selatan tidak selalu tentang perahu Pinisi, juga romantisasi Pantai Losari yang sekarang tertelan reklamasi. Di ujung selatan pulau Sulawesi, masyarakat adat Ammatoa bermukim. Salah satu komunitas yang masih setia memeluk tradisi dan memaknai alam lebih dari sekedar ruang tinggal.

Dari Kota Makassar, butuh waktu tidak kurang dari lima jam untuk bisa sampai di kawasan adat Ammatoa. Di peta, kita bergerak ke “kaki” Pulau Sulawesi, di kabupaten paling selatan. Tepatnya di Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

ammatoa kajang

Makassar dan Reklamasi | Adriyani Ayu

Dalam hal ini, terminologi Ammatoa dapat bermakna ganda. Pertama, Ammatoa berasal dari gabungan kata Amma (bapak) dan Toa (tua). Dalam Bahasa Konjo berarti bapak tua atau bapak yang dituakan.

Seiring berjalannya waktu, gelar adat inilah yang melekat kepada siapapun yang mendapat amanah dari Tu rie’ A’ra’na (Tuhan yang Maha Kuasa) dalam mengemban tugas sebagai penaung (kepala adat) bagi masyarakat adat Ammatoa. Kedua, kata Ammatoa yang melekat pada “masyarakat adat Ammatoa” merujuk pada pengidentifikasian kelompok masyarakat yang secara sosial kultural berada di bawah kepemimpinan Ammatoa.

Sebagian besar masyarakat adat Ammatoa dapat dengan mudah diidentifikasi. Simbol yang oleh orang dari luar komunitas mereka acapkali diidentikkan sebagai identitas adalah pakaian serba hitam.

Kawasan adat mereka terdiri dari Ilalang Embayya (kawasan adat dalam) dan Ipantarang Embayya (kawasan luar). Meski berbeda secara batasan teritorial, namun secara identitas kultural baik yang tinggal di dalam maupun di luar kawasan adat adalah tetap masyarakat adat Ammatoa.

Pola hidup kamase-masea

Hal yang paling bisa terlihat ketika memasuki kawasan adat dalam adalah hutan yang masih sangat terjaga dengan jenis flora dan fauna yang beragam, rumah yang keseluruhan dibangun dari kayu, masyarakat yang melepas alas kaki, tidak ada listrik, kendaraan bermotor, dan tidak ada bising musik dari pengeras suara. Pilihan hidup semacam ini bukan tanpa alasan.

Alam bagi masyarakat adat Ammatoa bukan hanya “ruang tinggal”, melainkan juga adalah “ruang hidup” atau “ruang yang hidup”. Alam dianggap sebagai “manusia lain” yang mampu merespon tingkah laku manusia, baik ataupun buruk. Dalam posisi yang sakral, wajah alam menggambarkan kualitas hubungan manusia dengan tuhan. Olehnya, proteksi mereka terhadap lingkungan adalah keharusan.

Di tengah gegap gempita kemajuan zaman, masyarakat adat Ammatoa masih terus berusaha untuk berpegang teguh pada pola hidup kamase-masea. Dalam bahasa Bugis-Makassar, Kamase-masea berarti “kasihan”, namun bagi masyarakat adat Ammatoa terminologi ini bersifat lebih universal.

Kamase-masea dalam bahasa Konjo (bahasa sehari-hari masyarakat Ammatoa) dimaknai sebagai cara hidup sederhana atau yang tidak berlebihan. Olehnya dalam beberapa literatur, Kamase-masea ditegaskan sebagai sistem nilai yang diyakini bak manifestasi gagasan keilahian, atau sebuah sakralitas hubungan antara manusia dan tuhan yang dibumikan.

ammatoa kajang bulukumba

Salah seorang masyarakat adat Ammatoa dengan pakaian hitam, sarung hitam (tope le’leng yang ditenun sendiri), dan passapu di kepala.

Dalam tendensi keduniaan, pola hidup kamase-masea menghadirkan simbol-simbol yang terkadang ditangkap jauh lebih kuat dibanding nilai kamase-masea itu sendiri. Misalnya, terkait dengan pakaian dominan hitam—warna yang mereka kaitkan dengan nilai kesederhanaan.

Tidak sedikit orang luar yang ketika bertemu dengan masyarakat adat Ammatoa yang tidak berpakaian hitam, menjustifikasi terjadinya degradasi nilai dan identitas kultural yang selama ini menghidupi masyarakat adat Ammatoa.

Padahal, nilai bergerak melampui simbol. Ia tidak melekat secara kaku pada simbol. Nilai-nilai sakral ke-Ammatoa-an sejatinya hidup dalam budaya kamase-masea yang diaktualisasikan oleh masyarakat adat Ammatoa pada banyak hal. Sehingga, ketika memasuki kawasan adat Ammatoa dan menemukan orang yang tak menggunakan pakaian hitam, tidak lantas berarti terjadi perubahan yang fundamental dalam kultur dan esensi kepercayaan mereka.

Masyarakat lisan

Masyarakat adat Ammatoa adalah masyarakat dengan basis kelisanan yang kuat. Cara berpikir dan perilaku masyarakat adat Ammatoa dihidupkan dalam ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dituliskan dan sulit ditemukan dalam cetakan atau teks yang dibuat oleh mereka. Jikapun ditemukan, yang menuliskannya adalah orang-orang yang berasal dari luar lingkaran mereka dengan basis keaksaraan yang kuat.

Sebagai masyarakat lisan, terus bertahan di tengah masyarakat aksara adalah tantangan tersendiri. Semua berawal di tahun 90an. Ketika inovasi (untuk tidak mengatakan arogansi) yang dilakukan pemerintah adalah membangun Sekolah Dasar di dalam kawasan adat. Artinya, menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat adat yang dianggap bodoh, buta huruf atau tidak berpendidikan.

Pemerintah menolak untuk memahami bahwa apa yang mereka saksikan pada masyarakat adat Ammatoa bukan hanya semata imbas keterbatasan akses sarana dan prasarana pendidikan. Melainkan ada pada hal yang jauh lebih esensial, yaitu budaya.

ammatoa kajang

Siswa SD 351 dengan seragam putih hitam

Waktu terus berjalan, orde demi orde berganti, masyarakat adat Ammatoa pun bernegosiasi demi eksistensi—sebuah hukum alam bukan? Seragam sekolah pada SD 351 yang letaknya paling dekat dengan kawasan adat diubah menjadi putih hitam, bukan putih merah. Hal ini adalah hasil dari proses negosiasi yang panjang antara masyarakat dengan pemerintah.

Satu per satu anak-anak mulai disekolahkan ke sekolah formal, mulai dari SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Bahkan, anak perempuan Ammatoa (kepala adat) juga telah bersekolah hingga ke salah satu perguruan tinggi di Makassar. Ia menjadi salah satu masyarakat adat yang terus aktif melakukan advokasi untuk memastikan bahwa segala yang diterima masyarakat adat Ammatoa adalah kebaikan yang tidak menggerus jauh adat dan tradisi mereka.

Pada akhirnya mereka memahami bahwa ilmu kehidupan (wisdom) yang mereka hidupkan selama ini tidak cukup mampu membuat mereka punya daya tahan untuk menghadapi berbagai polemik tentang konflik agraria, narasi menggiurkan tentang pariwisata, dan segala yang menjanjikan dari pembangunan. Mereka butuh ilmu pengetahuan untuk mengelaborasi narasi kekayaan historis dengan harapan untuk tetap bisa bertahan di masa yang akan datang. Atau dengan kalimat lain, mereka butuh ilmu pengetahuan agar tidak mudah dibodohi oleh “orang pintar” di luar sana.

suku kajang ammatoa

Masyarakat Adat Ammatoa memenuhi prosedur administrasi salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Masyarakat adat Ammatoa tumbuh dengan rasionalitas kearifan mereka sendiri. Bagi mereka, pintar itu bukan soal angka, jauhnya sekolah yang ditempuh juga bukan ukuran kecerdasan. Kecerdasan adalah kemanapun kau pergi, dimanapun dan pada siapapun kau belajar, namun ketika pulang, kau tetap paham bahwa ada adat yang harus dijaga. Rasionalitas semacam itu, di tengah pendidikan yang menyeragamkan, semoga selalu terjaga.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect