Villain atau penjahat memiliki sejarah yang kelam di industri hiburan, baik dalam komik, serial, hingga film. Sudah menjadi format cerita klasik bahwa protagonis adalah pahlawan yang baik, tanpa kehadiran penjahat, maka tidak akan kisah heroik yang tercipta. Namun, formula tersebut telah menemukan titik jenuh dimana para creator dan filmmaker mulai berinovasi dengan karakter villain.
Selama ini dunia telah memberikan terlalu banyak kredit pada karakter pahlawan. Mulai dari kisah asal mula mereka yang klise, hingga menjadi pahlawan yang membasmi kejahatan. Tidakkah kita penasaran bagaimana seorang penjahat bisa menjadi jahat? Ada yang menyebutkan bahwa ‘penjahat adalah korban yang kisahnya yang belum diceritakan’.
Setelah penantian yang cukup lama, para villain akhirnya mendapatkan panggung yang layak untuk menceritakan kisahnya. Dimana secara mengejutkan lebih memikat dan relevan bagi penonton. Mari membahas bagaimana para villain di industri hiburan secara perlahan berhasil mendominasi dunia hiburan modern.
Awal Mula Trend Mengangkat Kisah Para Villain di Hollywood Modern
Kemunculan Joker versi Heath Ledger dalam “The Dark Knight” pada 2008, bisa dibilang menjadi stimulus utama dari ‘villain trend’ pada era perfilman modern. Dalam film yang disutradarai oleh Christopher Nolan tersebut, Joker dipresentasikan secara memikat secara penokohan, penulisan dialog, hingga memilih aktor berbakat untuk tidak menyepelekan peran sebagai musuh terbesar Batman. Melalui film ini kita bisa menyimpulkan bahwa penjahat tidak selalu dibenci, ada formula yang bisa dieksekusi untuk membuat seorang penjahat dicintai oleh penonton.
Selama bertahun-tahun, Walt Disney Pictures secara tidak langsung telah menindas para karakter villain-nya. Jika melihat koleksi film kartun klasik Disney, pasti formatnya selalu ada pahlawan atau putri yang cantik nan baik hati, kemudian disandingkan dengan karakter villain yang muram dan penuh dengki. Hingga akhirnya, pada 2014, Disney memilih untuk mengangkat Maleficent sebagai protagonis dalam kisah Sleeping Beauty.
Ingin karakter yang selama ini dikenal sebagai penjahat mampu dicintai oleh penonton, Disney memilih Angelina Jolie untuk menjadi bintang utama dalam “Maleficent”, bersama Elle Fanning sebagai Putri Aurora yang kali ini hanya menjadi karakter pendukung. Naskah yang ditulis pun dibuat memihak pada Maleficent yang menyatakan bahwa selama ini kita mengetahui cerita yang salah.
Masih dalam periode yang sama, pada 2016, film superhero mengalami titik jenuh untuk terus melawan penjahat. Kemudian muncullah film perang antar superhero seperti “Captain America: Civil War” dan “Batman V Superman: Dawn of Justice”.
Hingga akhirnya trend dominasi villain meledak ketika “Suicide Squad” rilis pada 1 Agustus 2016 silam. Meski film DC tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai film yang bagus dalam segi screenplay, namun pesona Margot Robbie sebagai Harley Quinn telah menghasilkan “demam” baru yang masih terasa hingga saat ini.
Bagaimana Cara Menciptakan Karakter Villain yang Dicintai Penonton?
Sebetulnya pemujaan pada karakter penjahat bukan fenomena yang revolusioner dan baru terjadi di era modern ini (di atas tahun 2010-an). Joker sendiri telah mencuri banyak dukungan dari pembaca komik DC yang setia sejak awal kemunculannya karena paham nihilisme yang Ia anut. Kemudian ada juga Darth Vader dari “Star Wars” yang telah berkharisma sebagai penjahat luar angkasa sejak awal kemunculannya.
Kalau mau membahas dalam skena anime atau manga Jepang, budaya pop satu ini juga sudah lama menghasilkan banyak karakter penjahat yang dikagumi oleh penikmatnya. Salah satu contoh yang paling populer dan ikonik adalah Light Yagami dari “Death Note”. Dimana Ia ingin menciptakan dunia baru tanpa penjahat dengan memanfaatkan kekuatan Death Note.
Elemen pertama yang dibutuhkan untuk menciptakan karakter villain adalah aplikasi paham yang kontroversial dalam penokohannya. Tidak sekadar motif menguasai dunia atau menghancurkan dunia, harus dipikirkan juga, mengapa para villain ini ingin mewujudkan hal-hal buruk tersebut.
Karakter villain seperti Joker, Darth Vader, dan Light Yagami, dibekali dengan kecerdasan dan ketangkasan dalam menjalankan aksinya. Mereka mendapat label sebagai villain terbaik karena mereka tahu bagaimana menjadi penjahat yang benar-benar bisa bersanding dengan pahlawan dalam cerita. Tak dipungkiri, terkadang kita juga senang melihat rencana cerdik dari para penjahat berhasil dieksekusi.
Elemen berikutnya yang terbukti mampu memikat penikmat budaya pop pada pandangan pertama adalah desain karakter dan personanya. Jujur saja, kita semua memuja Harley Quinn karena Margot Robbie tampak cantik dalam balutan pakaian seksi, makeup yang menawan, dan rambut kuncir duanya dengan warna biru dan merah muda yang ikonik. Satu lagi contoh yang patut dibahas adalah bagaimana Disney melakukan make over pada Cruella, villain dari “101 Dalmatians”.
Cruella de Vil versi Glenn Close dalam “101 Dalmatians” pada 1996 direpresentasikan sebagai wujud dari ‘jahat’ itu sendiri. Mulai dari pemilihan nama, hingga riasan yang menor, dan pembawaan wanita tua yang sekadar terobsesi dengan bulu anjing dalmatian. Dalam “Cruella” (2021), Disney memilih salah satu artis rupawan, berbakat, dan dicintai oleh banyak orang saat ini, Emma Stone, sebagai bintang utamanya.
Sebagai film paling fashionable tahun ini, Emma Stone sebagai Cruella selalu muncul dengan riasan dan pakaian stylish yang didesain oleh Jenny Beavan. Jenny Beavan sendiri merupakan designer yang telah mengantongi dua piala Oscar sebagai Best Costume Design untuk film “A Room with a View” (1986) dan “Mad Max: Fury Road” (2015).
Mengapa Kisah Para Villain Lebih Mudah Mencuri Hati Penontonnya?
Ketika “Joker” karya sutradara Todd Phillips rilis pada Oktober 2019 silam, kita semua dibuat semakin jatuh cinta dengan Joker melalui kisah Arthur Fleck yang penuh dengan kesialan. Arthur Fleck bukan anak yang terlahir dari keluarga sejahtera dan tidak dikaruniai dengan fisik yang bugar. Ia bahkan mengidap penyakit dimana Ia tidak bisa mengontrol tawanya sendiri. Sederhananya, kita telah dimanipulasi untuk mencintai Arthur Fleck karena kasihan. Konsep tersebut kemudian dieksekusi dengan kualitas akting totalitas dari Joaquin Phoenix.
Kemudian ada Loki, yang akhirnya mendapatkan serialnya sendiri tahun ini, dibintangi oleh Tom Hiddlestone. Sebagai anak angkat jahat yang memiliki hubungan kompleks dengan keluarganya, Loki juga merupakan karakter penjahat yang mampu membuat kita menangis setelah menonton “Avengers: Infinity War”. Begitu pula dalam serial “Loki”, kita diajak lebih dalam lagi memahami kompleksitas dari perasaan benci-cinta yang disimpan oleh Loki selama ini.
Tak kenal maka tak sayang, akhirnya kita bisa mencintai sederet karakter villain ini karena kita mengenal mereka. Dimana ternyata kisah mereka lebih relevan dengan kehidupan kita, lebih spesifiknya lagi untuk kaum tertindas dan kecewa dengan tatanan dunia.
Kita tidak bisa merasa relevan dengan Clark Kent, yang memilih untuk tidak menyelamatkan ayahnya hanya karena Ia tidak boleh menunjukan kekuatannya dalam “Man of Steel” (2013). Atau bagaimana rasanya menjadi dokter bedah yang sangat berbakat dan sukses, mengalami putus asa karena mengalami kecelakaan, kemudian secara tidak sengaja berakhir menjadi penjaga Time Stone dalam “Doctor Strange” (201).
Kisah para pahlawan ini tak dipungkiri memang heroik dan menghibur sebagai popcorn flick, namun bukan film yang akan memengaruhi penonton secara emosional.
Kita mungkin tidak terinspirasi untuk menjadi penjahat yang menyebarkan teror, namun dalam konteks sebagai hiburan semata, kita seakan “melegalkan” setiap perbuatan jahat para villain karena kita tahu apa alasan mereka menjadi jahat. Dunia sudah terlalu kejam dengan mereka. Bagaimana setiap dari mereka adalah golongan tertindas atau seseorang yang salah dimengerti selama ini.
Setiap dari kita juga pasti punya pikiran buruk untuk melampiaskan kesedihan atau kekecewaan, namun karena nilai moral dan konsekuensi di dunia nyata, kita punya “rem” untuk tidak mewujudkan hal tersebut. Menonton karakter villain yang melancarkan aksi beraninya seakan merupakan pelampiasan atau kepuasan tersendiri bagi kita.
Pada akhirnya, para villain mampu mendominasi media hiburan karena; penampilan visual yang ikonik, prinsip atau ideologi berani dan tegas untuk melengkapi penokohan, kemudian diaplikasikan dalam kisah latar belakang yang relevan dengan kita, manusia biasa dengan berbagai problematika kehidupan.