Connect with us
Aruna dan Lidahnya

Film

Aruna dan Lidahnya Review: Perjalanan yang Mengenyangkan

Karakter yang beragam menjadikan film ini tidak membosankan saat menunggu akhirnya yang sangat mudah ditebak.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Aruna dan Lidahnya diadaptasi lepas dari novel karya Laksmi Pamuntjak yang berjudul sama. Film ini telah dirilis sejak 2018 lalu dan sudah bisa disaksikan juga di Netflix. Film ini dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo (Aruna), Nicholas Saputra (Bono), Hannah Al Rashid (Nadezhda atau Nad), dan Oka Antara (Farish).

Film Aruna dan Lidahnya tidak lama bertengger di bioskop, hanya 11 hari, saat tayang perdana di September 2018. Meski terbilang sebentar dan hanya menggaet sekitar 130.000 penonton, namun Aruna dan Lidahnya pun diputar di berbagai festival film internasional.

Film besutan sutradara Edwin ini menggunakan metode breaking the fourth wall atau mendobrak dinding ke empat di film. Dinding ke empat adalah istilah yang digunakan pada dunia teater untuk memberikan batasan yang tegas antara penonton dan pemeran. Melalui metode ini, lewat karakter Aruna, justru dinding ini yang diterabas. Aruna sering kali berbicara kepada penonton untuk sekadar menegaskan rentetan dialog yang dibangun dengan pemain lain sebelumnya.

Aruna dan Lidahnya

Palari Films

Kualitas akting Dian Sastro di film ini tentu tidak diragukan. Ia sangat lihai memainkan ekspresinya, baik ketika berdialog dengan lawan mainnya, ataupun saat harus beralih berbicara kepada penonton. Ia yang kembali dipasangkan dengan Nicholas Saputra pun, meski tidak memainkan peran sebagai orang yang saling kasmaran satu sama lain, tetap bisa menampilkan chemistry yang kuat.

Chemistry ini lahir dari kecintaan yang sama pada makanan dan kedekatan yang amat, hingga ada adegan dimana keduanya berada dalam satu tempat tinggal yang sama. Namun sampai film selesai, tidak ada penjelasan kenapa kedekatan Aruna dan Bono salah satunya digambarkan dengan suasana serupa itu.

Meski dikisahkan dekat, namun di awal film ini, ada saja pemilihan kata dan intonasi yang digunakan Aruna dan Bono saat bercakap terkesan sangat kaku dan terasa seperti didikte. Namun untungnya, adegan ini tidak berlangsung lama. Seiring dialog demi dialog, percakapan keduanya pun menjadi lebih menyenangkan untuk disimak.

Makanan, Perjalanan, dan Akhir Cerita yang Tertebak

Sesuai dengan judulnya, film ini bercerita tentang Aruna yang “senang mengunyah”. Dari awal hingga akhir film penonton sangat dimanjakan dengan potret makanan yang dicicipi Aruna dan kawan-kawannya. Tentu, bukan hanya potret makanannya saja, melainkan juga cerita-cerita menarik di baliknya.

Mereka bersepakat bahwa makanan itu punya kekuatan yang sama selayaknya alam semesta. Pandangan tentang relasi ini menghasilkan dialog yang kaya ketika Aruna, Bono, Nad, dan Farish berhadapan dengan makanan. Mulai dari persahabatan, percintaan, perselingkuhan, kesehatan, hingga korupsi bersanding dengan makanan yang mereka santap.

Film ini mengambil lokasi produksi di empat daerah. Yaitu, Jakarta, Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang. Tentu bisa ditebak betapa beragamnya makanan yang ditampilkan di film ini bukan? Benar saja, ada lebih dari 20 ragam makanan yang bisa memanjakan mata, sekaligus membuat lapar.

Di film ini, selain Aruna, makanan tentu saja menjadi pusat pengembangan cerita. Penonton disajikan visualisasi yang mengeyangkan. Hal ini bisa ditemukan di alur cerita dan juga nampak jelas pada teknik pengambilan gambarnya. Ada banyak adegan yang selalu diawali dengan terlebih dahulu menyorot penganan di atas meja.

Namun, makanan tidak pernah disajikan sendiri. Selalu dihadirkan bersama dialog manusia yang semakin membuatnya kaya rasa. Bukan hanya pada saat Aruna, Bono, Nad, dan Farish bersama, melainkan juga pada dialog-dialog terpisah yang dimainkan saat mereka berinteraksi dengan pemain lain di film ini.

Aruna dan Lidahnya

Palari Films

Plot yang dibangun di film ini adalah plot searah, dimana perjalanan bertemu makanan berawal dari Aruna si ahli wabah yang ditugaskan untuk menginvestigasi kasus flu burung di beberapa daerah. Selama bertugas, ia mengajak Bono si Chef yang berniat untuk mengeksplorasi resep otentik Indonesia. Sementara Bono mengajak Nadezhda si kritikus kuliner dan penulis. Selain itu, Farish yang berasal dari lembaga yang menugasi Aruna pun turut serta sebagai supervisor Aruna.

Jadilah mereka berempat kulineran disambi kerja. Namun di antara mereka, Farish memang cenderung kaku dalam memandang makanan. Untuk Farish, makanan bernilai mutlak, hanya antara enak dan tidak enak.

Karakter tokoh yang beragam menjadikan film ini tidak membosankan saat menunggu akhirnya yang sangat mudah ditebak, dimana Bono akan berakhir bersama Nad, dan Aruna akan bersama Farish.

Konflik: Aruna, Farish, dan Hal-hal yang Mengganjal

Hal lain yang membuat film ini layak untuk disaksikan adalah konflik yang dihadirkan. Dalam perjalanannya, Aruna mendapati banyak hal yang mengganjal. Ia tidak menemukan kecocokan data yang ia pegang dengan kondisi di lapangan.

Beragam kecurigaannya itu disampaikan kepada Farish, namun Farish berusaha menyangkali kecurigaan Aruna. Mereka berdua akhirnya sering terlibat perdebatan. Hanya satu hal yang akhirnya tidak bisa disangkal oleh Farish, hubungan asmaranya dengan Priya (Ayu Azhari) yang merupakan atasannya di PWP2. Kenyataan ini yang membuat Aruna syok dan marah pada Farish yang sempat disukainya.

Menariknya, konflik di film ini juga menyajikan potret bagaimana realitas masyarakat sebagian kecil bersikap di hadapan wabah. Misal, adegan pemilik peternakan unggas yang memandang Aruna dan Farish berlebihan karena datang ke tempatnya dengan menggunakan alat pelindung diri lengkap, sementara dirinya sendiri hanya menggunakan pakaian biasa saja. Kenyataan ini mungkin mirip dengan sebagian situasi masyarakat hari ini di tengah wabah Covid-19.

Melalui Aruna dan Lidahnya, kita benar-benar diajak bersepakat bahwa makanan bisa jadi penghubung ke berbagai macam orang dan beragam pengalaman. Ia tidak hanya melahirkan cerita baru, tapi dia juga melahirkan banyak kemungkinan baru.

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Look Back Review Look Back Review

Look Back Review: Nostalgia & Tragedi

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect