‘Air Force One’ (1997) disutradarai oleh Wolfgang Petersen dan dibintangi oleh Harrison Ford sebagai Presiden AS yang harus menghadapi kelompok teroris di pesawat kepresidenan. Dengan ketegangan yang terus meningkat, aksi heroik, dan premis yang menarik, film ini berhasil menjadi salah satu thriller politik paling ikonik di era 90-an.
Cerita dimulai dengan Presiden Amerika Serikat, James Marshall (Harrison Ford), yang baru saja menyampaikan pidato tegas tentang sikap tanpa kompromi terhadap terorisme di Moskow. Namun, dalam perjalanan pulang ke Washington DC menggunakan Air Force One, pesawat kepresidenan AS, kelompok teroris yang dipimpin oleh Egor Korshunov (Gary Oldman) berhasil membajak pesawat.
Dengan sandera yang mencakup keluarganya dan staf pemerintahannya, Marshall—yang memiliki latar belakang militer—memilih untuk melawan daripada bernegosiasi. Ia menyelinap di dalam pesawat, menggunakan kecerdasannya dan kemampuan bertarungnya untuk melawan para teroris satu per satu.
Naskah yang ditulis oleh Andrew W. Marlowe menghadirkan ketegangan dari awal hingga akhir. Film ini menggunakan premis “satu lokasi” dengan sangat baik, menciptakan rasa terjebak yang membuat penonton tetap tegang sepanjang film.
Sebagai film aksi yang sebagian besar terjadi di dalam pesawat, ‘Air Force One’ berhasil menciptakan ruang yang terasa sempit dan penuh ketegangan. Sinematografi yang digarap oleh Michael Ballhaus menampilkan pengambilan gambar yang dinamis, mengikuti aksi dan pergerakan karakter dengan intensitas tinggi.
Meskipun beberapa efek visual, terutama adegan pesawat di akhir film, terlihat ketinggalan zaman dengan standar CGI modern, keseluruhan tata visualnya tetap mendukung atmosfer menegangkan yang diinginkan.
Harrison Ford membawa karisma khasnya dalam peran sebagai Presiden Marshall. Ia tidak hanya tampil sebagai pemimpin yang kuat dan penuh integritas, tetapi juga sebagai pria tangguh yang siap beraksi ketika keadaan mengharuskannya.
Di sisi antagonis, Gary Oldman tampil luar biasa sebagai Egor Korshunov, seorang teroris Rusia yang fanatik. Aktingnya yang penuh emosi dan intensitas menjadikannya salah satu penjahat paling berkesan dalam genre aksi-thriller.
Pemeran pendukung seperti Glenn Close sebagai Wakil Presiden Kathryn Bennett juga memberikan dimensi politik yang lebih dalam pada cerita, menunjukkan tekanan yang dihadapi pemerintah AS saat pesawat kepresidenan dibajak.
Wolfgang Petersen, yang juga menyutradarai Das Boot (1981) dan In the Line of Fire (1993), berhasil mengarahkan film ini dengan tempo cepat dan ketegangan yang konsisten. Ia menggabungkan elemen politik dengan aksi yang efektif, memastikan setiap adegan memiliki dampak emosional yang kuat.
Musik yang digubah oleh Jerry Goldsmith semakin memperkuat ketegangan dan heroisme dalam film ini. Soundtrack epik khas Goldsmith menambah nuansa patriotik yang kuat, membuat adegan aksi dan klimaks semakin dramatis.
‘Air Force One’ sukses besar di box office, meraup lebih dari $315 juta secara global. Film ini juga mendapat pujian dari kritikus dan penonton atas ketegangan yang konsisten, akting kuat, serta eksekusi aksi yang solid.
Meskipun beberapa elemen politiknya mungkin terasa klise, film ini tetap menjadi favorit di kalangan penggemar aksi-thriller. Dialog ikonik Harrison Ford, “Get off my plane!” masih dikenang sebagai salah satu momen terbaik dalam sejarah film aksi.
Sebagai film aksi politik, ‘Air Force One’ menawarkan pengalaman yang penuh ketegangan dengan karakter utama yang karismatik, antagonis yang mengintimidasi, serta adegan aksi yang efektif. Meskipun efek visualnya sudah terasa usang, ketegangan yang dibangun tetap relevan hingga sekarang.
